Yoyo Mulyana

Malaikat Ikut Berzikir
TERIK matahari membakar kawasan Mekah Al Mukaromah. Puluhan ribu jemaah berputar mengelilingi Baitullah, sebagian lainnya duduk bersimpuh mengurai air mata. Matahari masih menggantung di atas Kabah, ketika seorang jemaah asal Banten khusu tafakur di dalam masjid yang paling disucikan umat Islam seantoro jagat.  Dia Yoyo Mulyana, cendikiawan kelahiran Serang 19 Maret 1941.  Pada musim haji tahun 1968 itu, ia ziarah ke tanah suci bersama istrinya, Ny. Kimtafsirah.         
Ba’da Salat Szuhur, Yoyo tak lekas bergegas dari tempat duduk. Ia membiarkan pikirannya mengembara, menembus dinding tebal Masjidil Haram, kemudian melayang hingga ke langit ketujuh. Di tengah pengembaraan batin, Yoyo merasakan dirinya tampak kecil. Jauh lebih kecil dibanding debu yang menyelip di hamparan padang pasir.
Batin Yoyo bergetar hebat, merontokkan seluruh keakuan yang selama ini hinggap di pikirannya. Ia kian merasa tak ada apa-apanya. Tak ada kelebihan yang bisa dibanggakan, tak ada kemampuan yang bisa diandalkan. Dari pergolakan jiwa, ia melihat tubuhnya hanya berupa onggokan daging yang tak memiliki daya. Tubuh itu tak ubahnya seperti rongsokan, tak ada yang perlu dibanggakan.
“Allahu Akbar. La hau la wa la kuwwata illa billahil ‘aliyin ‘adzim,” tanpa sadar kalimat itu meluncur dari bibirnya yang masih bergetar.
Ia sekuat pikiran  meraih kembali alam sadar, namun gagal. Bahkan ia merasakan tubuhnya melayang-layang,  menari mengikuti irama bacaan tahlil dan tahmid yang menggema di dalam masjid.                
Tiba-tiba, masjid yang dipenuhi puluhan ribu jemaah itu hening. Suara-suara tahmid yang meluncur dari bibir laut manusia, perlahan menghilamg. Tak ada suara, sunyi. Tak ada desiran angin, juga cicit merpati yang bisa menyapa jemaah di kawasan Baitrullah.    
Saya punya pengalaman spiritual. Di masjidil haram, siang hari, setelahs alat dzuhur sya berdoa. Tiba-tiba suasana hening, tak ada suara satupun. Tiba-tiba ada suara zikir,. Perlahan suara zikir itu kian banyak dan menggema. Bunyinya la ilaha illallah. Bukan tiadak ada suara. Tapi yang kain tak terdengar. Yang terdengar hanya suara zikir itu. Padahal di dalam mesjid itu banyak suara. Ada yang baca Alquran dan sebagainya. Saya menerjemahkan ini sebagai hadiah dari Allah. Kaliamat toyibah itu berlangsung relatif lama, sekitar lima menit. Waktu itu tempat duduk saya persis menghadap kabah.
Sebenarnya saya takut riya cerita ini. Malu sama manusai adan asma Allah.
Kejadian kedua, setiap towaf saya sering menatap hajar aswad dari kejauhan. Saya ingin sekali mendekat, tapi tak kausa karena orang berdesakan. Istri sering menasihati, janganlah. Pada towaf ahir, usai salat sunah istri nyuruh saya nyium hajar aswad. Ternyata, saya diberi kemuduhan mendekatinya. Sangat mnudah, seperti tidak desak-desakan. Ini kebahagianaan luar biasa.
Tahun 1968. istri waktu itu masih dai Australia, ngambil magister.
Modalnya disiplin. Sebab itu saya ikut ke Kodam Siliwangi. ketika itu istri saya surpes banget. Dia gak percaya saya punya uang untuk biaya perjalanan haji berdua. Waktru itu dia belum mengenakan jilbab.
Makan ahaji adalah penyerahan diri. Saat iotyus aya merasa sudah waktunya muhasabah, lalu menyerahkana diri kepada Aallah dan kembali kepada Allah. Jadi sebuah niat memassrahkan diri kepada Allah. Saya terkebnang kalimat ayah, luruskan niat. Niatnya pasrahkan diri kepada Allah. Ini bagian dari ibadah kepada Allah. Ini bukan seremonial, bukan basa-=basi. Bagi saya, sebuah perjalanan hati.
Bukan karena reaksi, tapi karena niat. Apa yang saya alami, itu karena niat.
Berangkat dari sebuah niat, saya ingin menjadi manusia yang erupakan hamba Allah. Selama ini sya menyadari tidak terlalu baik. Perjalanan saya di banduing, ya sering gelut, mukul orangd an sebagainya. Saya sudah belajar sabar, tapi karena sriung diejek-ejek, gelut. Saya diasrama. Jadi saya gak lulus sabar.
Ternyata kesimpuland ari wisata haji atau dialog dengan Allah, kesabaran itu berbuah hasil. Saya dianggap oleh istri sebagai suami teladan karena asangat amat sabar. Itu diungkapkan di muka umum. Karena penuh kasih sayang. Kalau pun ada kemelut, sabar. Ini setelaha da perjalanan panjang sejak pulang haji. Bagi saya, itu punya nilai spiritual. Karena kita tak bisa materil, tapi imatderil.
Kesimpulanya, kalau sungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah maka ada cahaya yang akan diberikan Allah. Bayangkan banyak dosa saja, allah tetep sayang. Itu nilai spiritual yangs aya ambil dan sifatnya sangat logis. Dan itu bisa dikaji oleh setiap orang.
Orang akan dibniolai baik, ketika dia menyiapkan diri untuk menjadi pelayan. Melayani allah, teman, orang tua dan sebagainya. Keihlasan seorng pelayan yang tidak mengharap upah. Misalnya, kalau istri saya emosional maka saya tidak tergoyahkan. Hal-hal kecil seperti itu tak bisa menggoyahkan hati saya untuk meluruskan niat. Bukan hanya melayani istri, tapi juga umat dalam berbagai bentuk.
Selama di mekah, ada upaya sungguh-sungguh dan serius untuk menjalankan makna dan tujuan haji. Bukan hanya ritual fisik saja, tapi mencoba mengetahui mendalami lalu berniat untuk mengimplemenmtasikannya tentang apa di balik yang dibaca dan diperintahkand alan haji. Misalnya dalam bentuk muhasabah. Pencarian makna bisa seperti itu, bukan hanya dengan meditasi.
Tenga tpwaf misalnya, maknanya bisa kita baca. Tapi masing-masing orang berbeda kualitas penemuannya. Caranya bisa berbagai bentuk, mulia muhasabah. Cerita haji ayah, berp[engaruh terhadap saya.
Apakah benar orangbilang, berbuat salah di sini dibalas di sana. Menurut saya, itu hanya mitos. Sebenarnya yang penting, kita pasrah dan meluruskan niat.
Ada orang di madinah, berenti di depan saya, dan ada yang mepet saya. Dia mau nagmbil sesuatud ari kantongs yaa. Lalu saya tangkap. Itu terjadi di halaman mesjid madinah.
Buan tertarik, saya justr  ikut perjalanan batin. Bagian yang menjadi kerinduan bagi muslim yang memutuskan mau haji, itu kerinduan mereka. Kalau tak ada keriinduan dalam hatinya untyuk berdoa di tempat-rempat itu, berarti perjalanan hajinya hanya seremonial. Di hatinya sudah ada motif-motif lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Qori Nasional Pertama dari Banten

Ponpes Alquraniyyah Kesultanan Banten

KH. Ahmad Maimun Alie, Lc, MA