Sam Rahmat
Dikungkung Waswas
MALAM
itu langit di Ciwandan amat cerah. Asap industri yang keluar dari
puluhan cerobong rakasasa, tak mampu menutupi cahaya emas yang memancar
dari jutan bintang yang berkedipan. Bulan masih menatap bumi dengan
matanya yang jalang, ketika sosok anak manusia duduk termenung di
serambi rumahnya yang mirip istana kecil.
Mata
pria bertubuh sedang itu biasanya tajam. Namun malam ini, matanya
terlihat lelah. Sesekali wajahnya mendongak ke langit, seperti sedang
berusaha membuang beban pikiran yang teramat berat.
Sam
Rahmat, nama pria tersebut. Di usianya yang masih muda, ia bukan saja
sudah menjelma menjadi pengusaha sukses, namun juga menjadi tokoh
masyarakat yang disegani. Alhasil, di usianya yang masih muda itu ia
sudah memiliki segalanya: pengaruh dan limpahan harta.
Namun
malam itu, Sam merasakan dirinya amat do’if (lemah). Semua yang
dimilikinya seperti tak ada artinya. Pikirannya menggapai-gapai langit,
seperti ingin menghiba di hadapan Yang Maha Perkasa. Namun, ia kembali
termangu, mengenang perjalanan hidupnya yang hitam putih.
“Ya
Allah, andai bebukitan di Ciwadan dikumpulkan menjadi satu, sungguh tak
kan melebihi besarnya dosa-dosaku. Andai limbah berbahaya di Ciwandan
dijadikan lautan penyakit, sungguh tak kan mampu melebihi buruknya
kesalahan yang pernah kuperbuat. Aku malu menatap langit-MU, ya Allah.
Tapi kalau bukan Engkau yang mengampuniku, lalu pada siapa aku mohon
magfirah,” kalimat lirih tersebut meluncur pelan dari mulut Sam.
Suaranya sangat pelan, nyaris tertutup oleh suara hembusan angin malam.
Tes!
Tak terasa butir air mata menggelinding di pipinya. Ia kaget. Lelaki
itu mencoba mengingat-ingat, kapan terakhir ia meneteskan air mata.
Sudah lama ia ingin menangis, membasuh kelopak matanya dengan bening air
mata. Namun kerasnya kehidupan yang selama ini dijalani, membuatnya tak
mudah meneteskan air mata.
Bersamaan
dengan itu, hatinya mulai berdegup kencang dan tubuh menggigil. Lelaki
ini semakin merasa aneh, sebab tiba-tiba muncul perasaan takut. Entah
pada siapa. Aneh, karena selama ini ia merasa urat takutnya sudah putus.
Jangankan kepada manusia, bahkan cerita-cerita tentang hantupun tak
pernah membuat bulu kuduknya berdiri. Selama ini ia menganggap semua
makhluk Tuhan sejajar. Oleh sebab itu, ia tak pernah merasa ada di bawah
bayang-bayang seseorang maupun kelompok tertentu. Ia juga tak pernah
merasa jadi bawahan, bahkan bagi penguasa sekalipun.
Lalu
kepada siapa perasaan takut itu muncul? Kenapa tubuh yang kekar itu
tiba-tiba menggigil? Dan, kenapa hati yang sekeras baja itu tiba-tiba
berdegup kencang, lebih kencang dari degup hati remaja yang sedang jatuh
cinta.
Lelaki
itu mencoba memejamkan mata. Tubuhnya disandarkan di kursi kayu,
sementara ke dua telapak tangannya disilang menjadi bantal. Kalau saja
ia tak mengenakan sarung, maka kaki kananannya terlihat sedang menumpang
lesu di lutut kaki kiri.
“Ya
Allah, kalau KAU menginginkan aku mengakhiri petualangan hidup yang
hitam, berilah aku isyarahMU. Tapi benarkah Engkau masih mengenalku,
padahal aku sudah lama melupakanMU. Berilah jalanMU, agar aku bisa
meluluhkan hati yang telanjur kotor ini,” ungkap Sam.
Entah
sudah berapa jam ia duduk menyendiri di serabi rumah yang sudah puluhan
tahun menjadi istana keluarganya itu. Matanya sudah terlalu berat untuk
diajak begadang, namun sungkan dipejamkan.
Malam
ini ia ingin tertidur lelap di bawah kolong langit, sambil mandi
cahaya rembulan semalam suntuk. Namun entah kenapa, kegelisahan hati dan
pikiran itu tak juga pergi. Padahal ia sudah lelah, ingin menyerah pada
kuasa malam.
Antara
sadar dan tidak dan antara kantuk yang menyandera, pikirannya menangkap
cahaya samara-samar. Lama-lama, cahaya itu menggumpal menjadi bangunan
berbentuk kubus. Ia merasa mengenali bangunan itu, tapi entah di mana.
Ia merasa sudah mengenal bangun itu seja masih usia madrasah ibtidaiyah,
tapi apa.
Dikerahkan
ingatannya, tapi tak berhasil. Karena lelah mengingat-ingat, Sam
mencoba melupakan. Tapi, bayangan itu kebali datang. Kali ini kian
jelas, bahkan sampai terlihat kain yang membungkusinya.
“Astagfirullah! Itu kan Kabah. Benar, itu Kabah,” jeritnya dalam hati.
Ia
terloncat dari tempat duduknya, berjalan bolak-balik sambil seseki
memegang ujung bawah janggutnya. Ia kembali berpikir keras,
menerka-nerka rahasia di balik penampakan bayangan Kabah tersebut.
Sam
kembali duduk, sambil menyapu pemandangan di halaman rumahnya dengan
tatapan tajam. Kepalanya mengangguk-angguk, sementara mulutnya
komat-kamit seperti sedang melafalkan sesuatu.
“Saya harus naik haji, ya harus naik haji. Saya tidak boleh menunda niat ini, tidak boleh,” gumamnya, memotifasi diri sendiri.
Malam
itu juga Sam mengutarakan niat hatinya ziarah ke tanah suci kepada ke
dua orang tuanya. Tapi ia tak ingin berangkat ke Mekah sendirian. Ia
meminta ke dua orang tuanya dan istrinya mendampingi dirinya selama di
tanah suci.
Ketika
Sam mengutarakan rencananya, mata pria dan wanita separuh baya itu
berkaca-kaca. Ia tak mampu menahan haru. Bukan karena diajak ke tanah
suci, melainkan karena melihat ada perubahan besar pada diri anak lelaki
kesayangannya itu. Tanpa menunggu waktu, ke duanya memeluk tubuh Sam.
Tak henti-henti kalimat syukur meluncur dari mulut dua orang tersebut.
“Terima
kasih, Ya Allah. Engkau sudah mengembalikan anak kami. Terima kasih,
Engkau sudah membukakan pintu hidayah untuknya,” kata ibu Sam.
Mendengar
ucapan ke dua orang tuanya, Sam merasa malu. Ia merasa seperti domba
hilang yang baru kembali ke kandang. Diam-diam hatinya berjanji akan
terus berupaya memperbaiki diri. Dalam hati ia berjanji, akan membangun
niat kebaikan setiap pagi.
“Ya
Allah, berilah kekuatan pada saya agar setiap hari bisa membangun niat
dan pikiran positif. Selalu tanamkan pada diri saya niat suci, agar hari
ini lebih baik dari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini,”
ungkapnya.
Khawatir
Keputusan
ziarah ke tanah suci ternyata melahirkan persoalan baru. Perjalanan
kelam masa lalu hadir satu-satu dalam ingatan, kemudian berlanjut
menjadi momok menakutkan. Ia meyesal telah melakukan semuanya, namun
takdir tak bisa diputar ulang. Ia hanya menyerahkan lumpur dosa masa
lalunya tersebut kepada Al Ghofar, Sang Pemilik Lautan Magfirah.
Rasa
khawatir itu kian mendera, sulit dibendung. Lebih-lebih setelah ia
mendengar cerita, bahwa prilaku seseorang ketika di tanah air akan
dibayar kontan ketika berada di tanah suci. Mendengar cerita ini, ia
mulai ragu campur takut ziarah ke tanah suci. Ia khawatir, perbuatannya
selama ini akan menuai balasan ketika di Mekah. Saking takutnya, ia
berpikiran ingin membatalkan niat sucinya tersebut. Untung ke dua orang
tua dan istrinya terus memberi motifasi dan meyakinkan bahwa
cerita-cerita itu hanya mitos belaka.
Mereka
menyarankan agar Sam banyak-banyak berdoa dan menghilangkan waswas
dengan banyak salat sunah dan sedekah kepada fakir miskin. Semua
nasihat orang-orang terdekatnya itu dijalani, namun rasa takut
menghadapi hukuman di tanah suci itu tak juga berkurang.
Sampai akhirnya momentum paling ditunggu sekaligus paling mengkhawatirkan itu datang. Sam dan keluarga berangkat ke tanah suci.
Peristiwa
bersejarah dalam kehidupan Sam itu terjadi pada tahun 1997. Dianggap
bersejarah, karena momentum haji bagi Sam tak ubahnya seperti perjalanan
hijrah dari dunia penuh pergulatan duniawi menuju kehidupan ruhani.
Bagi
Sam, perjalanan ke tanah suci bukan hanya kewajiban menjalankan rukun
Islam kelim, namun juga penyucian jiwa raga dan penghapusan file-file
kehidupan masa lalu. Itu sebabnya, selama di perjalanan antara Indonesia
dan Arab Saudi, di kepala Sam terus terbayang bangunan kubus bernma
Kabah. Bangunan peninggalan Nabi Ibrahim AS tersebutlah yang mebuka mata
hatinya tentang perlunya mengisi ruhani dengan iman. Bangunan yang
menjadi kiblat seluruh umat Islam di dunia tersebut, pernah hadir dalam
lamunannya.***(Syair Asiman/”KB)***
Muka
Sam tiba-tiba memerah. Tubuhnya gemetar, bersamaan dengan jantungnya
yang berdegup kencang. Lewat pengeras suara, pramugari meminta para
calon haji di pesawat tersebut bersiap-siap. Beberapa menit ke depan
pesawat akan landing di Bandara King Abdul Aziz, Jedah.
Keringat
dingin mengucur, membasahi pipi dan sebagian lengan Sam. Hati dan
pikirannya kacau. Ia ogah turun dari pesawat, takut menginjakkan kaki di
tanah Jedah. Diliriknya wajah ke dua orangtua dan istrinya. Tiga wajah
orang-orang yang amat dicintainya itu begitu tenang. Mata mereka
berbinar-binar dan wajah cerah. Mereka seperti sedang menahan berjuta
rasa gembira, karena akan bertamu ke rumah Allah dan menginjakkan kaki
di negeri paling disucikan oleh umat Islam.
Wajah-wajah
ceria orang-orang yang dicintainya itu membuat hati Sam sedikit tenang.
Ia memaksakan diri mengayuh kaki menuju pintu keluar pesawat. Begitu
melihat rumput hijau Bandara King Abdul Aziz, hati Sam kebali ciut.
Tubuhnya lemas seperti tak bertulang. Nyali sebagai jawara yang
disegani, hilang seketika. Sam berubah seperti bocah manja yang tak mau
jauh dari orang tuanya.
Seperti
anak kecil, tangan Sam menggamit kencang-kencang lengan ke dua orang
tuanya. Tangan kirinya memegang erat lengan ibunya, sementara tangan
kanannya menggamit lengan ayahnya. Ia tak peduli dengan puluhan mata
yang memandang heran padanya. Bahkan, ia juga tak peduli dengan wajah
istrinya yang mulai bersungut-sungut karena merasa diabaikan.
Perasaan
takut berpisah dengan ke dua orang tua, ternyata tak hanya berlagsung
di Bandara King Abdul Aziz. Ketika sampai di hotel pun lengan Sam terus
menggantel di lengan ke dua orang tuanya. Ia berharap, ke dua orang
tuanya menjadi jimat yang bisa menyelamtkannya dari hukuman di Mekah.
Sikap
kekanak-kanakan Sam membuyarkan kesabaran sang istri. Bagaimana tidak.
Jangankan di luar hotel, bahkan ketika tidur malam pun Sam tak mau lepas
dari ke dua orangtuanya. Sementra istrinya, dibiarkan tidur sendirian
di kamar hotel.
Beberapa
kali sang istri mengingatkan saminya. Namun tanggapan Sam sangat di
luar dugaan wanita yang sudah puluhan tahun hidup bersamanya itu. Kalau
diingatkan, Sam marah-marah. Hati kecil Sam sebenarnya mengakui
kekeliruannya mengacuhkan sang istri. Namun entah mengapa, ia tak bisa
mengubah sikap. Tetap cuek dan tak peduli pada istri. Saking tak
inginnya diganggu, Sam meminta istrinya agar menghubungi pembimbing
haji, jika membutuhkan bantuan.
Walhasil, pembimbing haji harus sibuk memberi pengertian kepada istri
Sam bahwa sikap suaminya itu sebagai bagian dari ujian kesabaran. Sang
istri dimintnya memahami kejiwaan suaminya, sembari diyakinkan bahwa hal
itu akan berubah ketika pulang ke tanah air. Meski hatinya jengkel, Ny.
Sam mencoba tabah dan sabar. Tak dipungkiri, pernah muncul pikiran
ingin meninggalkan suaminya. Namun, buru-buru pikiran itu dibuangnya. Ia
mecoba mnghibur diri dengan meyakini kebenaran nasihat pembimbing
hajinya bahwa sikap suaminya itu hanya cobaan kesabaran.
Selama
di tanah suci, sang istri terus berusaha membangun sikap sabar. Tak
henti-hentinya ia berdoa agar mata hati suaminya terbuka. Doa-doa itu
terus dipanjatkan, baik ketika zikir di depan Kabah maupun saat
menengadahkan tangan di dalam Masjid Alharam.
Doa
sang istri tak sia-sia. Sampai musim haji 1997 usai, ia masih sabar
dalam menghadapi sikap aneh suaminya. Sikap sabar itu, terus langgeng
sampai di tanah air. Ia tak mudah goyah, meski berbagai cobaan hidup
menerpa diri dan rumah tangganya.
Sementara
bagi Sam, kedekatannya dengan ke dua orang tua selama di tanah suci
juga tak sia-sia. Ia tebebas dari “hukuman” tanah suci. Ia bersyukur,
kekhawatirannya mendapat teguran lagsung dari Allah di Mekah tak
terjadi. Ia meyakini, perjalalanan mulus itu tak lepas dari kedekatannya
dengan ke dua orang tuanya.
“Alhamdulillah,
kekhawatiran dan ketakutan itu tak terbukti,” kata pengusaha yang sudah
tujuh kali naik haji, empat di antaranya bersama ke kedua orangtuanya.
Namun
Sam buru-buru berpikir, apakah sikap kekanak-kanakannya selama di tanah
suci itu sebagai hukuman kepada dirinya. Maklum, karena disita
kesibukan, selama ini ia nyaris tak punya waktu untuk sekadar bersenda
gurau dengan ke dua orangtuanya.
“Astagfirullahal
adzim. Ampuni saya, ya Allah. Kesibukan mencari dunia, menjadikan saya
melupakan orangtua. Astagfirullah, ya Gofar,” ucapnya berkali-kali. Air
mata lelaki itu kembali menetes. Namun, kali ini hatinya lebih tenang
dan jantungnya tak lagi berdegup kencag.
“Alhamdulillah.
Puji syukurku padamu, ya Rahim. Engkau telah membukakan pintu hatiku,”
katanya, seraya mengusap mukanya dengan dua telapak tangannya. *
Komentar
Posting Komentar