Taufik Nuriman

Melihat Pendopo di Arafah
 
SIANG itu, matahari membakar hamparan pasir di kawasan Arafah. Namun suasana terik tersebut, tak menghalangi lautan manusia meraih cinta Sang Maha Agung. Suara zikir yang membahana, menambah hangat siang di Arafah.      
Satu dari ratusan ribu jemaah itu adalah Taufik Nuriman, prajurit Koppasus Cijantung berpangkat……. Pada musim haji 1987 itu, ia berangkat ke tanah suci bersama istrinya, Ny. Ratna.
Selama di tanah suci, Taufik Nuriman mendapat tugas sebagai pembimbing haji. Oleh sebab itu, dalam beberapa kesempatan ia sering didaulat menjadi pemimpin doa. Hal itu, antara lain, terjadi ketika di Arafah. Seperti biasa, usai memimpin doa ia mempersilahkan jemaah lainnya berdoa sendiri, sesuai keinginan masing-masing.
Ia mulai khusu berdialog dengan Sang Rab, merinci dosa yang pernah dilakukan dan berharap keridoan-Nya. Ketika itulah, Taufik dikejutkan oleh bayangan yang melintas jelas di hadapannya. Taufik melihat gedung bercat putih. Sejumlah tiang raksasa berbentuk bulan lonjong, menambah kesan kokoh bangunan tua tersebut.  Di dalam bangunan peninggalan Belanda itu, ia melihat seorang lelaki sedang duduk manis. Seragam putih-putih yang dikenakannya, menambah wibawa lelaki muda penuh kharisma itu.
Mata Taufik tak berkedip memerhatikan lelaki misterius di gedung tua itu. Taufik merasa kenal dengan dengan lelaki bertubuh sedang itu. Ia merasa sangat mengenal senyum itu, merasa sangat akrab dengan mata tajam lelaki kulit sawo matang itu.
Masih antara sadar dan tidak sadar, Taufik kian menajamkan ingatan untuk mengenali pria tersebut. Betapa kaget ia. Pria itu memang sangat dikenalinya, bahkan sangat akrab dengannya. Tapi ia masih tak percaya.
Kembali dikuatkan ingatannya, dijernihkan pikirannya. Benar, tak salah lagi. Pria di dalam gedung itu bukan siapa-siapa, bukan orang lain. Pria itu benar-benar cermin dirinya. Ya, lelaki misteri yang ada dalam gedung tua itu tak lain bayangan dirinya.
Lalu, rumah siapa gedung tua bercat putih itu? Taufik kembali menguatkan ingatan. Ia merasa sangat hafal dengan gedung itu. Ia merasa sering melihat gedung itu, terlalu sering bahkan. Tapi di mana?   
Samar-samar bayangan Taufik melayang ke kampung halaman.  Pikirannya menelusuri satu persatu gedung peninggalan Belanda yang masih utuh di kampung halamannya. Pandangannya mentok pada bangunan yang berlokasi berhadapan dengan Alun-alun Barat Serang. Taufik terpana. Gedung tua itu ternyata Pendopo Kabupaten Serang, tempat tinggal sekaligus kantor orang nomor satu di Serang.  Bisa dibilang, gedung bercat putih itu istana pejabat tertinggi di Serang.
Taufik tersadar, wajahnya gelagapan sesaat. Jiwa dan pikirannya masih goncang. Ia seperti baru bepergian jauh, melanglang buana menelusuri alam semesta. Ia merasa amat letih, seperti baru kembali dari perjalanan panjang kehidupan.
Diperhatikannya orang-orang di sekelilingnya. Lautan manusia masih menyemut di padang pasir nan tandus bernama Arafah. Gaung kalimat-kalimat tayibah masih mengumandang, menyatu dengan suara angin sepoi.
Taufik mengalihkan pandangan ke sebelah kanannya. Ia melihat istrinya masih khusu dalam doa. Bibirnya masih basah oleh zikir. Dipandangnya lekat-lekat wajah cantik sang istri, wanita yang sudah puluhan tahun meniti pahit-getir kehidupan bersamanya.  
Dengan suara setengah berbisik, Taufik mengusik kekhusuan sang istri. “Mah, barusan papah diperlihatkan pemandangan aneh,” bisiknya. Wanita di sampingnya hanya menoleh sejenak, kemudian kembali larut dalam zikir.
“Bener lo, mah. Papah melihat Pendopo Serang,” ulang Taufik, berusaha meyakinkan istrinya.
“Lalu anehnya di mana? Itu sih biasa. Mamah juga sering ngebayangin sesuatu, gak ada yang aneh tuh,” jawab Hj. Ratna, sapaan akrab wanita kuning langsat itu. Ia kembali tenggelam dalam doa, seperti tak ingin terusik oleh cerita sang suami.
“Tapi ini lain, mah. Di dalam pendopo itu papah melihat seperti ada orang. Pria itu tak lain papah sendiri. Mudah-mudahan ini pertanda baik ya, mah” ungkap Taufik, masih dengan suara setengah berbisik.         
“Barangkali mau diangkat jadi bupati, Pah,” canda Hj. Ratna, disambung dengan tawa kecil sang istri. Meski diungkapkan dengan nada bercanda, namun jawaban sang istri sempat membuat hati Taufik bertanya-tanya. Dari mana jalannya jadi bupati. Pinansial tak punya, kendaraan politik apalagi.
Karena merasa tak mungkin menapaki jalur politik, Taufik segera melupakan peristiwa spiritual yang barusan dialaminya. Dalam doa-doa panjangnya, tak terucap sekalipun keinginan menjadi bupati.
Wajahnya kembali ditundukkan ke hamparan padang pasir, seraya membayangkan kebesaran Sang Maha Pencipta. Di tengah padang pasir yang menghampar, Taufik mulai merasakan sebagai mahluk yang amat kecil, lemah dan tanpa daya.  
“Betapa agung Sang Maha Pencipta,” gumamnya.

Didatangi tokoh

Musim haji sudah berlalu. Taufik pun menjalani rutinitas seperti semula, menjadi bagian dari pasukan elite di Cijantung Jakarta. Kesibukan sebagai prajurit Grup II Cijantung, nyaris menutup dirinya dari informasi tentang hiruk-pikuk perkembangan politik mutakhir di Serang. Ia juga tak tahu, suhu politik di Serang mulai menghangat, menyusul meninggalnya Bupati Serang H. Solihin Dahlan.
Bola wacana pesta demokrasi menggelinding tanpa ada yang bisa mencegah. Masyarakat menginginkan bupati definitif, karenanya perlu segera digelar pemilihan kepala daerah. Peristiwa itu terjadi tahun 2000.
Sejumlah nama kandidat bupati pun bermunculan, salah satunya H. A. Taufik Nuriman. Sejumlah tokoh Banten menilai, Serang membutuhkan pemimpin berdarah prajurit dan santri. Figur ideal tersebut pernah dicontohkan oleh Bupati Serang pertama, Brigjen. KH. Syam’un, pendiri Pesantren Al-Khairiyah.     
Setelah melalui diskusi antartokoh dan hasil istikharoh ulama, muncul nama H.A. Taufik Nuriman. Di luar dugaan, nama tersebut mencapat sambutan luar biasa dari kalangan akademisi di Serang. Mereka, bahkan, mendesak para tokoh Serang segera berangkat ke Cijantung membawa misi amanah masyarakat. Maka, diutuslah Prof. Dr. H.MA. Tihami, MA, H. Embay Mulya Syarief dan beberapa aktivis muda Serang.
Di hadapan H. Taufik, mereka bercerita tentang perkembangan terakhir politik lokal di Serang. Mereka juga bercerita tentang kosongnya kursi Bupati Serang, pasca meninggalnya H. Solihin Dahlan. Menurut para tokoh tersebut, kekosongan kursi bupati itu tidak boleh berlarut-larut sebab pembangunan harus berjalan normal. Terkait dengan ini, mereka meminta H. Taufik Nuriman bersedia maju dalam pemilihan Bupati Serang.  
Mendengar penuturan para sahabat lamanya itu, H. Taufik kaget bukan kepalang. Jangankan ambil ancang-ancang, membayangkan ingin menjadi bupati saja belum pernah. Ia merasa tak pantas ikut bersaing dalam bursa pemilihan kepala daerah. Bukan karena tak memiliki seni memimpin, tapi lantaran ia menyadari bahwa maju dalam pilkada bukan hanya butuh modal manajerial dan kepemimpinan. Pilkada butuh modal lain yang tak kalah vitalnya, yakni kekuatan pinansial dan kendaraan politik.  
“Bagaimana saya maju dalam pilkada, uang tidak punya partai juga tidak,” ungkap Taufik kepada para tamunya.
“Saat ini, kami hanya butuh kesediaan bapak maju dalam pilkada. Soal yang lain, nanti kami yang pikirkan,” ungkap H. Embay, berusaha meyakinkan.
Pertemuan pertama itu belum membuahkan hasil. Taufik belum memberikan jawaban pasti. Menurutnya, masih banyak yang harus dipertimbangkan, salah satunya izin dari komandan dan restu dari orang tua.
Seiring perjalanan waktu, kediaman Taufik terus dibanjiri para tamu dari Serang. Di antara mereka ada aktivis mahasiswa, ulama, aktivis perempuan, LSM, dan politisi. Tujuan mereka sama, meminta kesediaan Taufik maju dalam Pilkada Serang. Karena dukungan terus mengalir, Taufik pulang kampung untuk mengkonsultasikan mengalirnya dukungan itu kepada ayahnya, H. Nuriman.
“Emang, sebelumnya kamu punya firasat apa?” tanya ayah Taufik.
“Sepertinya gak punya firasat apa-apa,” jawab Taufik pendek.
“Coba diingat-ingat lagi. Mungkin pernah ada peristiwa yang sebenarnya itu firasat, tapi tidak disadari,” saran ayahnya.
Setelah berpikir keras, Taufik teringat peristiwa di Arofah. Munculnya bayangan Pendopo Serang bercat putih, diceritakan kembali kepada ayahnya.   Mendengar cerita anaknya, lelaki separuh baya itu yakin, bayangan pendopo di Arofah itu merupakan firasat yang dicarinya.  
“Itu yang saya maksud firasat. Sekarang, kamu jangan ragu lagi. Dukungan masyarakat itu harus diemban, karena itu amanah. Sebagai orang tua, saya hanya bisa membantu dengan doa,” kata H. Nuriman dengan suara mantap.
Dukungan masyarakat kian bulat, setelah Taufik mendapat restu dari Danjen Koppasus Syahrir. Ia membuka jalan bagi Taufik untuk maju dengan hati bulat dalam pemilihan bupati di daerah kelahirannya.   Lagi-lagi, tokoh yang meminta restu Danjen Syahrir adalah Prof. Tihami dan H. Embay Mulya Syarief.
Bahkan Danjen Syahrir juga tidak keberatan, ketika diceritakan peluang prajurit binaannya itu hanya Wakil Bupati. Ia dipasangkan dengan H. Bunyamin. Hal itu, merupakan hasil kompromi politik para pemimpin partai yang bakal mengusung pasangan tersebut.  
Firasat berupa tampilnya bayangan pendopo, memang jadi kenyataan. Dalam pemilihan yang berlangsung di gedung DPRD Serang, pasangan H. Bunyamin-H-Taufik Nuriman berhasil meraih suara terbanyak.
Pada hari yang lain, Taufik juga mengalami pengalaman spiritual tergolong aneh lainnya. Ketika sedang nelepon di wartel,   
Wakti nelepaon di wartel, saya naruih jam tangan di meja wartel. Tujuajnya agar mudah menegetahui waktu neleop. Suapaya tidak terlalu mahal. Tapis aya pua, jam ketinggalan.
Pas saya balik lagi, jam sudah gak ada. Saya heran. Dua hariu kemudian saya melihat sajm itu ada di bawah kopor di dlaam hotel. Sampai saat ini saya tidak kepikiran, siapa yang mengembalikan jam tangan tersebut. Tapi kata teman-teman itu dibalikin malaikat.
“Mungkn karena saya sudah megihlaskan, jadi ada yang nolong.
Di sana itu, jangan dikatakan, dipikirkan saja bisa terjadi. Saya punya kawan sartu hotel. Tiap hari bolek-balik ke kamar kecil. Sambil bercanda saya ngenyek, payah kamu mah kencing terus. Hanya dalam waktu beberapa menit, giliran saya dibikin pengen kencing terus. Itu kejadian di Madinah. Kejadian itu berulang beberapa kali.
Buru-buru saya bac istigfar. Rupanya saya adiingatkan. Rupanya di mekah itru, biarpun bercanda harus dengan bahasa yang enak.   
Pada haru yahg lain, teman-teman serombongan bercanda sambil mengucap sayamah pengen jadi ini, jadi ini. Maklmunm, rombongan saya itu beragam ada kolonel, letkol dan sebagainya. Itu hanya obrolan bercanda. Dengan nada bercanda saya juga bilang, “Saya mah kayaknya gak bagus karietr militernya. Saya mah udahlah jadi bos atau apalah. Yang pentingnya keluar dari militer. Mudah-mudahan kalau di luar militer mah karir saya lebih bagus.
Tapi pada naikhaji tahun 1999, saya ketiban sial. Waktu puklangd ari mesjid, istri saya pernah ngomel kecil. “Ini orang, ngepel tidak tahu diir. Kalau ada orang lewat kan bisa jautuh,” gerutunya sambil melangkah rongan di lantai hotel.
Selang beberapa detik saja, istri saya jatuh terpelest di lantai. Padahal, ketika itus aya mau ngintetin dia agar hatri-hati kalau ngmong di tanah suci. Kejadian itu terjadi di hotel Hilton. Hotel saya berasda di bekalangnya. Jadi kalau mau pulnag melewati ruang lobi hotel itu.
Buru-biru dia membaca istrigfar.  
Pergi haji saya motonya 3 S (sah, sehat, dan selamat). Sebab ada orang yajg mengejar keafdolan tapis akit, atau bahkan meninggal keinjak-injak. Afdol dapet tapi sakit, untuk apa. Kan memanga da waktu-waktu tertentu dan tempat tertejntu yang lebih bagus, tapi kalau kodisinya tidak mungkin jangan makasakan diri. Melempar jumarh, bagusnya kan pas gelijncir matahari. Kalau semua numplek dpada waktui yangs ama, maka jutaan orang. Kan betapa sulitnya.
Kalau kita mau ke raudoh, harus datang lebih awal. Kalau saya, naik haji pertama tahun 87, kalau mau ke raudoh sudah siap di pintu sebelum mejasdjid dibuka, sekitar jam 2.30 waktu setempat. Biasanya, setengah jam azan subuh, pintu sudah dibuka. Kalau datang belakangan, saya biasanya menyesuaikan tempat. Tiadak mau mengganggu orang lain. Banyak orang, datang belakangan tapi nyerobot pengen ke depan, akhirnya ngegangguorang lain. Bisa rtibut. Itu kurang bagus. Kalau mau di depan, datang lebih awal. Janga datang siang, tapi pengen duduk di depan.
Suatu kali pernah terjadi. Ketika sdang duduk, ada orang sereg-seregan. Dario tam[angnyas aya sudah negira, ini pasti orang indonesia. Dia main sereg. Begitu ma nempati ytempat yang sempit, orang yang duduk di sutu tak berkenan. Ditolaks ama dia. Dengan sombongnya dia berkata, “Hei kamu darimana. Tau gak, saya ini dari Jakarta. Tau gak kamu Jakarta,”.
Akhirnya dibalikin, “Di sini tidak ada orang Jakarta. Di hadapan Allah semuanya sama”. Dia dipermalukan.
Pengalaman saya relatif tidak banyak kesulitan selama di tanah suci. Tempat juga gak sjuah dari mesjid. Waktu itu jababatn saya Mayor, Letkol.
Dari peristiwa-peristiw aitu saya ngambil eksimpulan.
Saya punya keyakinan, sebesar apapun dosa seseorang yang akan naik haji, tapai kalau bertgobat sungguh-sungguh insya-Allah akan dimudahkan selama di tanah suci. Sebaliknya, kalau disini sudah sombng dan takabur, dan tak mau tobat, dia akan diperlihathat dengan kejadian yang mengerikan.
Prinsip 3 S tidak tergolong memudahkan ibadah. Prinsiup itu sering saya uratan, termasuk dalam manaik maupun melepas calon haji.
Pengalama ada orang cirebon. Dia pernah berkata, saya harus menyium hajar aswad, meski harus mempertaruhkan nyawa. Karena dia nantang, akhrinya dia keinjak-injak jemaah haji ketika akan menyium hajar aswad. Dia meninggal di tempat.
Yang perklu diwadpadai, ternyata di tempat suci juga ada setan. Buktrinya, di depan kabah juga ada copet. Jadi pegamanan itu harus diakukan, di manapaun berada.
Tiga kali naik haji.
Harus diawali dengan niat ibadah. Masyarakat jangan takut. Saya sering mendengart orang yang mampu, tapi karena takut hukum di sana, diua gak mau naik haji. Bahkan ada orang yang disuruh berangkat gratis segalanya, masih tiodak mau. Bahkan minta mentahnay asaja. Ini artinya, haji itu terkait dengan panggilan. Kalau bekum dipanggil, ya gak bakal nyampe.
Tapi jangan nunggu panggilan, tapi gak ada upaya. Harus ada niat yang kukuh dan ihktiar. Misalnya, nabung semamunya.
Kalau allah sudah manggil, secara lahiriyah tidak mampu, tapi bisa berangkat.
Tahun 1999 iytu haji termahal. Tahun sebelumnya, ongkos haji hanya 8 juta. Tapi 1999 naik menjadi 20 juta. Waktu itu saya punya uang 20 juta. Tadinya dianggap cukup untik berdua dengan istri. Tapi untuk sendii saja belum cukup. Saya sudah pasrah. Mungkin Allah belum ngijinin. Beberapa hari kemudian, saya mendapat tiket haji untuk lima orang.
Akhirnya, saya bagi dengan anak buah. Padahal kalau saya rakus, tiket haji itu mungkin akan saya bagikan untuk keluarga saya. Tapi itu tidak saya lakukan.
Saya ingin membahagiakan anak buah. Ini salah satu caranya. Mereka mulanya tidak percaya.
 “Jadi harus ada biat yang kenceng. Kalau niatnya kenceng, akan ada jalan. Harus diyakini, bahaw haji itu suatu kewajiban.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Qori Nasional Pertama dari Banten

Ponpes Alquraniyyah Kesultanan Banten

KH. Ahmad Maimun Alie, Lc, MA