Ponpes Bustanul ‘Awamil
Kobong di Kaki Gunung Karang
SEPINTAS
bangunan berbentuk Liter U tersebut tak mungkin disangka pesantren.
Selain hanya beberapa meter dari tempat pemakaman umum (TPU), kobong
berbilik anyaman bambu terbuat berada di tengah persawahan. Untuk
menuju ke lokasi, kita harus menyusuri galengan sawah sejauh 500 meter.
Itu
baru sedikit dari sekian banyak keunikan Pondok Pesantren Bustanul
Amawil. Tempat pendadaran akidah sekitar 30 santri tersebut, bukan unik
tapi juga nyentrik. Unik, karena pesantren di kaki Gunung Karang
tersebut konsisten bertahan dalam tradisi klasik. Padahal, lingkungan di
sekelilingnya tak lagi sepi dari serbuan modernisasi. Maklum, pesantren
yang baru berusia sewindu tersebut hanya satu kilo meter dari Alun-alun
Pandeglang. Sementara disebut nyentrik, karena para santri di Ponpes
Bustanul Awamil merupakan perbauran antara anak-anak baru gede (ABG) dan
santri kolot. Di antara para santri misalnya, ada yang sudah
berkeluarga dan berasal dari Metropolitan, Jakarta. Seperti pesantren
lain, Ramadhan di Ponpes Bustanul ‘Awamil juga diisi dengan pasaran
kitab.
Karakter
unik dan nyentrik semakin lengkap, karena pengasuh pesantren salafi
tersebut bukan hanya masih muda belia, tapi juga berlatar belakang
pendidikan umum dan aktivis pramuka. Usia kiai muda tersebut baru 37
tahun. Akan tetapi karena luas wawasan dan piawai ilmu alat
(nahwu-sharaf), kiai yang hobi memelihara kumis tersebut ditokohkan oleh
para kiai sepuh. Para tamu, biasa menyapanya dengan panggilan Kiai
Hasyimi.
Bagi
kiai Hasyimi, mengajar satu santri atau seribu santri tak ada bedanya.
Semangat ketika mentransformasi ilmu kepada santri, menurut bapak dua
anak, tidak boleh dipengaruhi oleh sedikit atau banyaknya santri. Atas
dasar prinsif tersebut, Kiai Hasyimi selalu bersuara lantang ketika
meluruskan bacaan santri yang sedang sorogan dengannya. Bersuara keras
dan tetap semangat meski mengajar satu santri, merupakan salah satu
amanah salah seorang kiainya di Kediri.
“Walaupun
santrinya cuma satu, suara saya tetap keras ketika membacakan kitab.
Itu salah satu bentuk semangat. Kalau ketika ngajar gurunya saja
klimer-klimer, santri akan ngantuk dan kehilangan semangat belajar,”
kata alumnus SMEAN I Pandeglang.
Proses
belajar mengajar di Pesantren Bustanul Awamil tergolong padat. Ketika
waktu fajar tiba, santri harus sudah memulai rutinitas: salat sunah,
ngederes Alquran dan membaca ulang bagian kitab yang telah dan akan
dipelajari. Seusai Salat Subuh, santri berkumpul di aula untuk sorogan
ke kiai. Rutinitas tersebut berlanjut hingga malam hari, hanya diselingi
salat lima waktu, makan dan istirahat siang.
“Kitab
yang dipelajari banyak, puluhan jumlahnya. Akan tetapi, kami lebih
mendalami kitab-kitab dasar. Kalau dasarnya sudah dikuasai, kitab apapun
bisa dibaca dan dimengerti dengan sendirinya,” kata kiai jebolan
Pesantren Riyadlul Awamil Cangkudu Baros dan Ponpes Riyadlul Alfiyah
Pandeglang.
Sejumlah
kitab yang dipelajari di Pesantren Bustanul Awamil, antara lain amil,
jurumiah, syarah alfiyah (Ibnu ‘Aqil), imriti, mulhatul i’rob, dan
tafsil amani. Kemudian, iqna’, tauseh, taqrib, kifayatul ahyar, tanwirul
qulub, fathul majid, kifayatul awam, jalalain, busro karim, tafsir
munir, dan asmawi. Kitab lainnya, riadhus sholihin, dan muroqobil
ubudiyah.
Keunggulan
lain proses belajar mengajar pada pesantren di Kampung Kadu Pandak
Desa/Kecamatan Pandeglang, semua santri belajar langsung kepada sang
kiai dengan cara sorogan. Kiai Hasyimi mengaku tidak sampai hati
membiarkan para santrinya belajar kepada santri senior. Bukan tak
percaya pada kemampuan santri senior, tapi karena Kiai Hasyimi memandang
para santrinya sebagai amanah.
“Orang tua santri mempercayakan penuh pendidikan anak mereka kepada saya. Kalau kepercayaan itu dilempar lagi, saya khawatir menjadi guru yang tidak amanah. Termasuk seluruh biaya keperluan pesantren, saya tanggung sendiri. Santri tinggal ngaji, tak perlu mikir iuran listrik atau uang kapur,” kata kiai yang juga qori tersebut.
Komentar
Posting Komentar