Qori Nasional Pertama dari Banten
BANGSA
yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Adagium tersebut
sangat masyhur di telinga anak bangsa, namun masih asing di tingkat
pengamalan. Bangsa kita terbukti sering mudah lupa, termasuk tentang
para pelaku sejarah di lingkungannya dan (tentu saja) yang ikut
membesarkannya.
KH.
Tubagus Wasi’ Abbas atau lebih dikenal dengan sapaan Tus Kuncung,
merupakan salah seorang pelaku sejarah yang masyhur pada zamannya. Ia
bukan saja berhasil mengharumkan nama Banten di panggung nasional lewat
alunan Alquran, tapi juga menuntun masyarakat Banten ketika itu menjadi
komunitas yang cinta Alquran. Sekitar era 70-an, siapa yang tidak kenal
Tus Kuncung. Suaranya yang merdu, mengantarkanya sebagai salah seorang
peserta pertama dalam sejarah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat
Nasional yang diselenggarakan di Medan. Ketika itu ia mewakili Jawa
Barat.
Pria
kelahiran 1930 di Kasunyatan Kasemen, Serang ini memiliki segudang
pengalaman soal belajar dan mengajarkan Alquran. Para santrinya
tersebar di berbagai pelosok negeri, dari guru ngaji di kampung-kampung
sampai qori tingkat internasional. Dalam perjalanannya sebagai qori,
ulama yang menguasai Bahasa Belanda dan Arab ini sempat bertemu dengan
sejumlah tokoh nasional seperti Presiden Soekarno dan Hamka. Pertemuan
dengan dua tokoh tersebut menyisakan kenangan tersendiri di hati putra
pasangan KH. Tubagus A. Abbas dan Hj. Nyi Mas Uryan ini.
Semasa
hidupnya, suami Hj. Siti Junaedah dikenal sebagai orang tua yang sangat
jarang sakit. Ketika usianya menginjak 75 tahun, ia tampak masih
perkasa. Pancaindranya masih berfungsi normal. Ia, misalnya, masih mampu
mengingat tahun-tahun bersejarah dalam perjalanan hidupnya. Ia juga
masih hafal nama sejumlah qori yang seangkatan dengannya. Tentang
kelebihan ini, ia pernah bebagi rahasi.
“Saya tidak punya resep khusus untuk menjaga stamina, termasuk olahraga. Hanya saja, saya membiasakan ngederes Alquran. Saya selalu mengupayakan agar setiap dua bulan hatam (tamat) Alquran. Tapi itu juga tergantung kegiatan, kalau lagi sibuk bisa tiga bulan baru hatam,” ungkap alumnus Pondok Pesantren Alquran Caringin Labuan ini.
Pendiri
Pesantren Alquraniyah Banten Lama ini dikaruniai delapan anak,
masing-masing (Alm) KH. Tubagus Hafidz Al Abbas, Tubagus Ismetullah Al
Abbas, H. Tubagus A. Sadzili Wasi, Ratu Masmudah, Tubagus A. Abbas
Wasee, Ratu Lailatul Qomariyah, Tubagus A. Khotib, dan Ratu Mamah
Musawwamah.
Sejak 1980 ulama kharismatik ini lengser keprabon, memilih
menjadi “guru bangsa yang baik”. Meski sesekali masih menerima tamu,
namun roda kepemimpinan Pesantren Alquraniyah diserahkan kepada anaknya,
H. Tubagus Hafid. Karena “pewaris” kepemimpinan pesantren ini wafat di
usia muda, ulama yang mudah akrab ini menunjuk KH. Tubagus Sazili
sebagai penerusnya.
Santri
kesayangan KH. Tubagus Syihabuddin Makmun Caringin ini sudah mendalami
ilmu qiroat masih usia anak-anak. Dasar-dasar qiroat dipelajari dari
orangtuanya. Kebetulan selain menjadi naib (penghulu), orang tua Tus Kuncung juga seorang hafizd
(penghafal Alquran). Namun pendalaman tentang Alquran seperti tafsir
dan tajwid, diperolehnya dari KH. Syihabuddin sekitar tahun 1943 (masa
pendudukan Jepang). Beliau pengasuh Pesantren Alquran Caringin, Labuan.
Ketika
itu saya ikut Tubagus A. Khatib (paman) yang bertugas sebagai Daidanso
di Labuan. Tahun 1945, Tubagus A. Khatib mendapat tugas menjadi Residen
Banten. Karena kantornya di Serang, Tus Kuncung ikut ke Serang. Skitar
tahun 1947 sampai 1948, ia kembali lagi ke Caringin untuk khataman
Alquran. Bersamaan dengan itu, terjadi Agresi Belanda II. Tahun
1948-1951 ia kembali ke Banten Lama, mendapat tugas khusus sebagai muadzin di Mesjid Agung.
Pada
usia masih muda, Tus Kuncung pernah terjun sebagai guru qiraat di
Majalawang Taktakan, Serang. Keputusan yang dinilainya berat itu
dilakoninya pada tahun 1952. Karena merasa ilmu tentang Alquran yang
dimiliki masih kurang, sekitar tahun 1955 sampai 1960 ia kembali
berguru Alquran ke Pesantren Lontar asuhan KH. Tubagus Soleh Makmun.
Julukan qori mulai
menempel pada dirinya sejak bulan Maulid 1962. Ketika itu, Jawa Barat
menggelar MTQ tingkat naional yang pertama. MTQ tersebut diikuti tiga
provinsi, yaki DKI Jaya, Lampung, dan Jawa Barat. Pada momentum
tersebut, ia terpilih sebagai juara pertama. Sejak itu, namanya mulai
dikenal sebagai qori. Banjir “order” membaca Alquran bukan hanya datang
dari Banten, tapi juga di luar wilayah Jawa Barat ketika itu. Saking
padatnya pesanan, ia pernah tidak pulang selama satu bulan. Siang malam
berkeliling memenuhi undangan membaca Alquran, sampai-sampai ia pernah
kehabisan suara.
Cerita
tentang kemerduan suara Tus Kuncung, nampaknya sampai ke telinga
Presiden Soekarno. Sehingga pada 1962, presiden mengundangnya untuk
membaca Alquran di Istana, bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi
Muhamad SAW. Selain dirinya, ada juga qoriah asal Yogyakarta.
Pertemuan
dengan Soekarno di istana, melahirkan kesan mendalam pada diri Tus
Kuncung tentang tokoh proklamator tersebut. Meski hanya bertemu beberapa
menit di ruang khusus, Tus Kuncung menangkap kesan kecerdasan dan
merasakan wibawa presiden pertama RI itu. Kepada Tus Kuncung, Soekarno
mengungkapkan keheranannya tentang kultur Banten.
Menurut
Soekarno, para Sultan Banten itu berasal dari Jawa. Tapi dalam
perkembangan selanjutnya, bahasa resmi yang digunakan beragam yakni
bahasa Sunda, Jawa, Arab, dan sebagainya. Soekarno heran, kenapa
masyarakat Banten tidak menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa tunggal
yang resmi.
Tentang
keharanan Soekarno ini, Tus Kuncung tidak berkomentar. Ia membiarkan
Soekarno bicara tentang Banten. Diam-diam ahli qiroat asal daerah
kesultanan itu mengagumi pengetahuan Soekarno tentang budaya Banten.
Tiba
giliran memberi wejangan, Soekarno kembali mengeluarkan statemen yang
mengejutkan Tus Kuncung. Ketia itu, Soekarno dengan tegas menyatakan
tidak suka dengan ulama yang menganggap ada hadist dhaif (lemah). Menurutnya, yang dhaif adalah rawi-nya (orang yang meriwayatkan), bukan hadistnya.
Pengalaman
ikut MTQ di luar Banten, pertama kali dia laminya tngkat Jawa Batat.
Pada tahun 1971, Jawa Barat menggelar MTQ tingkat provinsi yang pertama.
Pada acara yang berlangsung di Cirebon itu, kembali Tus Kuncung
mendapat juara I. Pesertanya antara lain berasal dari Sukabumi, Bogor,
Jakarta, Lampung, dan Serang. Tahun yang sama, ia menjadi wakil Jawa
Barat mengikuti MTQ tingkat nasional di Medan. Tapi pada MTQ tersebut,
seluruh utusan Jabar masuk kotak. Pemenangnya utusan tuan rumah (Medan),
yakni H. Hasan Basri. Tahun 1973 Tus Kuncung total mengabdikan hidup
untuk membangun generasi qurani. Cita-cita itu diwujudkannya dengan
mendirikan Pesantren Alquraniyah di Banten Lama.
Pengalaman menarik
Selama
malang melintang dalam dunia qori, Tus Kuncung menemui banyak pengalaman
menarik. Pengalaman paling tidak bisa dilupakan, antara lain
perkenalannya dengan Buya Hamka, pemuka Muhammadiyah. Ketika itu Hamka
sudah menjadi ulama yang kebesarannya masyhur di masyarakat
internasional. Ke dua ulama ini sering dakwah bareng, Tus Kuncung
sebagai qori dan Hamka bagian penceramahnya.
Dalam
sebuah acara, Tus Kuncung pernah tidur satu kamar dengan Buya Hamka.
Ketika datang waktu salat subuh, Hamka menjadi imam dan Tus Kuncung
makmumnya. Betapa heran Tus Kuncung, dalam Salat Subuh itu Hamka memakai
doa qunut. Padahal ketika itu, soal doa qunut menjadi salah satu sebab
perseteruan antara pengikut Muhammadiyah dan NU.
Seusai
salat Tus Kuncung bertanya padanya, “Kenapa memakai doa qunut?”. Buya
Hamka menjawab, “Ulama Banten dan ulama Padang satu aliran”. Jawaban
filosofis Buya Hamka membuat Tus Kuncung terkagum-kagum. Jawaban itu
dipandangnya sebagai diplomasi yang sangat luar biasa. Dengan jawaban
itu, Tus Kuncung tidak perlu lagi mencecar Buya Hamka dengan
pertanyaan-pertanyaan susulan yang tidak esensial. Tus Kuncung
menyayangkan, sikap arif Buya Hamka tersebut sulit menurun kepada para
pengikut dua organisasi itu di tataran akar rumput.
Selain
dengan Buya Hamka, Tus Kuncung juga pernah satu acara dengan KH.
Musaddad dari Garut. Di mata Tus Kuncung, KH Musaddad merupakan kiai
unik. Ketika beliau berceramah, panitia wajib menyediakan papan tulis
sebab isi ceramahnya selalu diperkuat dengan gambar di papan tulis.
Kalau cerita soal panasnya neraka jahanam misalnya, KH Musaddad
menggambar neraka dengan apinya yang berkobar. Demikian pula ketika
cerita soal surga, tangannya kreatif menggambar keindahan surga. Menurut
Tus Kuncung, metoda ceramah KH Musaddad satu-satunya di Indonesia
hingga saat ini.
Sebagai pelaku sejarah MTQ, Tus Kuncung melihat
ada perbedaan penilaian MTQ tahun baheula dengan sekarang. Zaman
awal-awal MTQ, penilaian lebih mengutamakan kaidah-kaidah tajwid.
Penilaian berikutnya baru soal suara, lagu dan akhlak. Tapi pada MTQ
sekarang, yang diutamakan soal suara dan lagu. Sedang kaidah-kaidah
tajwidnya menjadi nomor dua. Akibatnya, menurut Tus Kuncung banyak
qori/qoriah yang tajwidnya minim tapi bisa lolos menjadi juara MTQ.
Alasannya satu, suara dan lagunya bagus.
Meski
memaklumi sebagai bagian dari perkembangan MTQ, namun ia menilai hal itu
sebagai perkembangan yang kurang baik. Menurutnya, qori harus tetap
berpegang pada kaidah-kaidah tajwid. Ia mengingatkan agar para qori
tidak bosa mendalami tajwid.
Tus Kuncung juga bebagi tips agar suara tetap merdu, yakni istirahat
yang cukup, tidak merokok, kurangi buah-buahan mentah, kurangi makanan
pedas, dan es. Ia menganjurkan para qori agar membiasakan minum air
putih yang diembunkan. Nanun demikian, Tus Kuncung mengaku tidak pernah
menjalani tips tersebut. Selama menjalani karier di duia qiroat, Tus
Kuncung nyaris tidak punya pantangan. Sejak muda ia sudah menjadi
perokok berat. Bahkan, ia juga tidak pernah ikut gegurah. Kebiasaan qori asal Banten yang perokok, sempat membuat heran para qori asal Mesir.***
Komentar
Posting Komentar