Ponpes Alquraniyyah Kesultanan Banten
Mencetak Penghafal Alquran
“Bila
dalam suatu kampung tak ada orang yang belajar atau mengajarkan
Alquran, kutukan Tuhan akan menimpa seluruh masyarakatnya. Kutukan
dimaksud, bisa berupa bencana alam maupun siksa neraka”.
PERINGATAN
yang mendirikan bulu roma tersebut diungkapkan Pengasuh Pondok
Pesantren Alquraniyyah Kesultanan Maulana Hasanuddin Banten, KH. Tubagus
A. Syadzili Wasi.
Kiai
kharismatik keturunan Sultan Maulana Hasanuddin tersebut mengaku
gelisah, karena modernisme berpengaruh pada menurunnya kecintaan
generasi muda Banten dalam mempelajari Alquran. Kenyataan tersebut,
menurut kiai berpenampilan kalem, sangat ironis. Pasalnya, Provinsi
Banten sedang bertekat mewujudkan baldatul thayyibatun wa robbun ghofur.
Menurut dia, upaya mengembalikan generasi muda agar mencintai Alquran
sangat bergantung pada peran para orang tua dan tokoh masyarakat di
sekitarnya.
Sebagai
tanggungjawab moril kepada masyarakat dan agama, para pewaris Kesultanan
Banten mendirikan pesantren spesialis Alquran. Sesuai dengan visi dan
misinya, pesantren berlokasi persis di samping kiri Masjid Agung Banten
tersebut bernama Pondok Pesantren Alquraniyyah.
Sejak
awal berdirinya pada 1962, Ponpes Alquraniyyah bertekat melahirkan para
hafiz (penghafal Aqluran). Kelak, mereka diharapkan menjadi benteng
kesucian dan kemurnian Alquran.
Tus Kuncung
Keberadaan
Ponpes Alquraniyah tidak bisa dipisahkan dari nama besar KH. Tubagus
Wasi’ Abbas atau lebih dikenal dengan sapaan Tus Kuncung. Pendiri
pesantren yang sudah melahirkan ratusan hafiz tersebut, merupakan salah
seorang pelaku sejarah yang masyhur pada zamannya. Ia pernah ikut
mengharumkan nama Banten di panggung nasional lewat alunan Alquran.
Tus
Kuncung dikaruniai delapan anak, masing-masing (Alm) KH. Tubagus Hafidz
Al Abbas, Tubagus Ismetullah Al Abbas, H. Tubagus A. Sadzili Wasi, Ratu
Masmudah, Tubagus A. Abbas Wasee, Ratu Lailatul Qomariyah, Tubagus A.
Khotib, dan Ratu Mamah Musawwamah.
Tus
Kuncung yang notabene santri kesayangan KH. Tubagus Syihabuddin Makmun
Caringin, sudah mendalami ilmu qiroat sejak masih kanak-kanak.
Dasar-dasar qiroat dipelajari dari orangtuanya. Kebetulan selain menjadi
naib (penghulu), orang tua Tus Kuncung juga seorang hafizd
(penghafal Alquran). Namun pendalaman tentang Alquran seperti tafsir
dan tajwid, diperolehnya dari KH. Syihabuddin sekitar tahun 1943
(pengasuh Pesantren Alquran Caringin, Labuan).
Julukan qori mulai
menempel pada dirinya sejak bulan Maulid 1962. Ketika itu, Jawa Barat
menggelar MTQ tingkat naional yang pertama. MTQ tersebut diikuti tiga
provinsi, yaki DKI Jaya, Lampung, dan Jawa Barat. Pada momentum
tersebut, ia terpilih sebagai juara pertama. Cerita tentang kemerduan
suara Tus Kuncung, sampai juga ke telinga Presiden Soekarno. Pada 1962,
presiden mengundangnya untuk membaca Alquran di Istana, bertepatan
dengan perayaan Maulid Nabi Muhamad SAW.
Pengalaman
ikut MTQ di luar Banten, pertama kali dialaminya pada tingkat Jawa
Barat. Pada tahun 1971, Jawa Barat menggelar MTQ tingkat provinsi yang
pertama. Pada MTQ berlangsung di Cirebon itu, Tus Kuncung kembali meraih
juara I. Tahun yang sama, ia menjadi wakil Jawa Barat mengikuti MTQ
tingkat nasional di Medan.
Sejak
1973 Tus Kuncung total mengabdikan hidup untuk membangun generasi
qurani. Cita-cita itu diwujudkannya dengan mendirikan Pesantren
Alquraniyah di Banten Lama. Sejak 1980 ulama kharismatik ini lengser keprabon dari
kepemimpinan di pesantren. Sejak itu, roda kepemimpinan Pesantren
Alquraniyah diserahkan kepada anaknya, H. Tubagus Hafiz. Akan tetapi,
“pewaris” kepemimpinan pesantren ini wafat di usia muda. Tus Kuncung
kemudian menunjuk KH. Tubagus Sadzili sebagai penerusnya.
Di bawah
asuhan KH Tubagus Zadzili, Ponpes Alquraniyyah mengalami kemajuan
pesat. Para santri datang dari berbagai pelosok di tanah air. Di bawah
asuhannya, Pesantren Alquraniyyah telah mewisuda puluhan penghafal
Alquran.
“Para penghafal Alquran merupakan aset bangsa yang langka. Kalau generasi muda sudah tak ada lagi yang berminat menghafal Alquran, ini awal kehancuran akhlak masyarakat,” kata KH Sadzili.
Masih banyak kesalahan ini siapa yg nulis
BalasHapus