KH. Ahmad Maimun Alie, Lc, MA
Bidani Kelahiran FSPP
USIANYA memang masih relatif muda. Tapi tokoh ini telah banyak makan asam garam pendidikan dan berpengalaman mendadar
(mengkader) santri. Maka tidak berlebihan bila suami Hj. Nia Husnia ini
dipercaya menakhodai Pondok Pesantren Subulussalam Kresek, Tangerang.
Lelaki
berpenampilan kalem memiliki nama lengkap KH. Ahmad Maimun Alie, Lc,
MA. Usianya menginjak 50 tahun. Dia merupakan kader Al Khairiyah yang
lama digodok di Pesantren Moderen Gontor Ponorogo (1978). Tak puas
mendalami ilmu hukum di Universitas Jakarta (Unija), ia hijrah ke Timur
Tengah untuk belajar hukum Islam di Fakultas Syariah Universitas Islam
Madinah (1985). Program studi yang sama juga digelutinya selama satu
tahun di International Islamic University Islamabad (1987). Kemudian,
bapak sepuluh putera (lima pria dan lima wanita) ini mengambil gelar
MA di bidang Islamic studies pada Universitas Ahlul Hadits, Faisalabad.
Meski
belakangan dunia pesantren sering dikait-kaitkan dengan terorisme,
namun ulama muda ini mengaku tidak gentar. Ia bahkan bertekad ingin
membuktikan bahwa sistem pendidikan di pesantren diajarkan dengan
akhlak.
“Pesantren
tidak pernah mengajarkan radikalisme, terorisme atau aksi-aksi
kekerasan dan pendzaliman. Sampai sekarang, tidak seorang pun anak
pesantren yang terlibat terorisme. Terbukti, dari sekian banyak
tersangka bom bali dan pengebom gereja, tidak satu pun yang benar-benar
anak pesantren,” kata Wakil Ketua Bazda Banten.
Ia
yakin, rumors yang menimpa dunia pesantren tersebut tidak akan
berpengaruh buruk terhadap perkembangan dan pengembangan pesantren di
masa mendatang. Sebaliknya, rumors tersebut diharapkan akan menjadi
rahmat bagi pesantren dan Provinsi Banten.
Salah
seorang bidan kelahiran Forum Silaturrahmi Pondok Pesantren (FSPP)
Provinsi Banten ini menilai pesantren sebagai sistem pendidikan tertua
di Indonesia. Uniknya, menurut Maimun, hanya Indonesia yang memiliki
pesantren. Kalau di negeri ini sekarang menjamur berbagai jenis
pendidikan, hal itu dinilainya berkat jasa pesantren.
Semula,
kata Ketua Harian LPTQ Kab. Tangerang, sistem pengajaran yang
ditawarkan pesantren hanya sorogan, bandungan, dan sejenisnya. Tetapi
sejalan dengan perkembangan zaman, sistem pengajaran yang dikembangkan
pesantren shalafiyah itu dimodifikasi. Meski demikian, ada pesantren
yang tetap bertahan dengan sistem klasikalnya. Jenis pesantren ini
dikenal dengan sebutan pesantren salafi. Sedang yang menggabungkan
sistem klasik dan moderen dikenal dengan sebutan pesantren terpadu atau
pesantren moderen.
Tetapi,
lanjutnya, baik pesantren salafi maupun terpadu memiliki keunggulan
tersendiri. Sehingga dalam dunia pesantren mashur moto al muhafadhotu ‘alalqodimi shalih wal akhdu bil jadidil ashlah
(memelihara sistem klasik yang baik, kemudian mengambil sistem
kontemporer yang lebih baik). Perpaduan dua sistem ini diharapkan
memunculkan sintesa, yakni pesantren yang mampu menjawab tantangan masa
kini.
Di
matanya, seluruh pesantren memiliki visi sama, yakni visi tauhid
(keimanan). Visi inilah yang menjadi pondasi pengajaran di pesantren.
Dengan istilah lain, sistem yang dikembangkan di pesantren adalah sistem
spiritual. Sistem ini menekankan pada pehamanan dan pengamalan
nilai-nilai agama. Kemudian, sistem ini mewajibakan santri untuk
mengembangkan pengetahuannya kepada masyarakat.
“Kualitas
pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama itu senantiasa harus
dikembangkan,” kata Wakil Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB)
Kab. Tangerang.
Menurutnya,
sampai sekarang visi tersebut masih berlaku karena sudah menjadi ciri
khas pesantren dari dulu sampai sekarang. Kalau visinya bukan tauhid,
maka bukan pesantren namanya..
Soal
kemungkinan visi tersebut melahirkan generasi radikal, menurut Maimun
hal itu sangat bergantung pada tingkat pemahaman seseorang. Kalau ajaran
tauhid dipahami secara cetek,
bisa disalah diartikan. Tapi ia memastikan, tak ada satupun pesantren
yang mengajarkan radikalisme, apalagi yang menjurus terorisme.
Pesantren
mengajarkan kedamaian, bukan kekerasan atau kerusakan. Penekanan ajaran
pesantren yang pertama dan utama adalah pengenalan terhadap Tuhan
(tauhid). Kemudian, pesantren juga mengajarkan bagaimana berhubungan
dengan manusia (hablu minallah wa hablu minannas).
Oleh
sebab itu, jika di kemudian hari muncul alumni santri yang radikal maka
hal itu dianggapnya tidak bisa dikait-kaitkan dengan kurikulum
pesantren. Sikap menyimpang itu dianggapnya sebagai ulah pribadi, bukan
ajaran dari pesantrennya.
“Tapi saya pikir, tidak ada santri yang radikal, apalagi berprilaku teroris. Misalnya Imam Samudera, kan
tidak pernah belajar di pesantren. Dia hanya belajar Islam dari
sekolah formal. Begitu juga dengan tersangka linnya, baik di Jawa Timur
maupun di Banten,” ungkap pengurus Bazda Kab. Tangerang.
Namun
ia sangat yakin, isu terorisme tidak akan bisa mencemarkan nama besar
pesantren. Pasalnya, antara pesantren dan terorisme tidak memiliki
benang merah. Sebaliknya, isu tersebut diharapkannya bisa menjadi
rahmat bagi dunia pesantren dan Banten. Kalau ada tuduhan terhadap
pesantren, hal itu dianggapnya sebagai tantangan bagi umat Islam, bukan
hanya pengasuh pesantren.
“Kami
akan membuktikan bahwa pengajaran di pesantren sarat dengan nilai-nilai
akhlak,” kata Ketua Tanfidziyah PW NU Provinsi Banten.
Terkait
dengan ini, ia menilai media media massa memiliki kewajiban memberikan
informasi secara jujur kepada masyarakat. Ia juga mengajak para ulama
lebih serius memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pesantren yang
sebenarnya.
Menurtutnya,
santri akan membela diri jika diserang, tetapi tidak akan melakukan
perusakan atau perbuatan dzalim lainnya. Hal ini, menurutnya pernah
dicontohkan para kiai tempo dulu yang turun ke medan perang mengusir
penjajah.
Inti
ajaran di pesantren, ungkap Maimun, bagaimana agar setelah lulus para
santri bisa memberikan nilai positip yang lebih banyak kepada orang
lain. Hal itu, sesuai hadits bahwa sebaik-baik manusia adalah yang mampu
memberikan arti postif kepada orang lain. Pesan tersebut selalu
ditanamkan kiai kepada para santrinya.
Berdirinya FSPP, kata Maimun, sama sekali tidak ada kaitan dengan isu terorisme. Tujuan
pembentukan forum ini antara lain untuk menyatukan visi para pemimpin
pesantren di Provinsi Banten. Selama ini, ujar Maimun, para pengasuh
pasantren masih berpikir sektoral. Padahal, persoalan umat harus
ditangani secara terpadu.***
Komentar
Posting Komentar