Ponpes Bany Abdillah Tegalbuntu Cilegon
Akrab dengan Piranti Modern
SIAPAPUN
tak akan menyangka, kamar berukuran 4X4 M2 berdinding bilik itu, kelak
akan menjadi pesantren bergengsi dan megah di Provinsi Banten. Dari
pesantren di pusar Kota Industri itu, kelak lahir ratusan mujahid
dakwah. Di antara mereka, bahkan ada yang kini menjadi tokoh nasional.
Seiring
dengan perjalanan dan tuntutan zaman, pesantren berlokasi di Tegalbuntu
Kecamatan Ciwandan Kota Cilegon itu kini menjelma menjadi pesantren
modern. Bangunannya pun tak lagi berbentuk bilik, namun berdiri kokoh
disangga beton dan kaki cakar ayam. Itulah Pondok Pesantren Bany
Abdillah atau lebih dikenal dengan sebutan Pesantren Tegalbuntu.
Nama
pesantren tersebut diambil dari nama pendirinya, yakni KH Abdullah. Sang
pendiri yang juga murid KH Syam’un Citangkil, mungkin juga tak
menyangka kalau kelak Bany Abdillah akan menjadi salah satu pusat
kajian ilmu Islam terkemuka di Banten.
Di awal
perkembangannya, jumlah santri di pesantren yang dibangun era 70-an itu
tidak lebih dari belasan orang. Akan tetapi tidak sampai satu tahun,
jumlah santri membludak. Mereka bukan hanya datang dari Pulau Jawa,
namun juga dari berbagai pelosok tanah air lainnya.
Di
tengah perkembangan pesantren yang kian pesat, KH Abdullah dipanggil
Yang Maha Kuasa. Cita-citanya menjadikan Desa Tegal Ratu sebagai
perkampungan pesantren, belum sepenuhnya tercapai. Sebagai gantinya,
tampillah Ustad Musthofa Abduh yang tak lain menantu sang kiai.
Di
tangan dosen muda IAIN Serang itu, Ponpes Bany Abdillah kian berkembang.
Ia lincah menjalin kerjasama dengan pelaku industri dan perguruan
tinggi. Sayangnya, belum genap tiga tahun memimpin Ponpes Bany Abdillah,
mubalig muda tersebut wafat.
Tak
ingin melihat Pesantren Bany Abdillah mandeg, para keturunan KH Abdullah
menggelar musyawarah untuk menentukan pengganti Ustad Musthofa Abduh.
Musyawarah memutuskan, pesantren tersebut dipimpin secara kolektif.
Kepemimpinan kolektif tersebut antara lain Hj. Ulfah Abdullah, Lutfah
Abdullah, Ru’fah Abdullah, Muizuddin, Dr. H. Ahmad Satori dan Hasan
Basri. Mereka merupakan anak dan menantu KH. Abdullah.
Meski
berorientasi melahirkan santri modern yang siap berjibaku dengan dunia
industri, namun Pesantren Bany Abdillah tidak meninggalkan kurikulum
pesantren berbasis tradisional. Sejumlah kitab wajib yang diajarkan di
pesantern tersebut antara lain Jurumiah, Tafsir Jalalain, Bulughul
Marom, Kifayatul Akhyar, dan Qowa’id Al-Lughoh.
Pengasuh Ponpes Bany Abdillah, Hj. Ulfah Abdullah, menuturkan selain mewajibkan santri mempelajari kitab-kitab kuning, pesantren yang diasuhnya itu juga membiasakan para santrinya akrab dengan piranti modern dan prangkat industri lainnya.
Komentar
Posting Komentar