Penggagas Irigasi Teluk Lada

GENERASI muda pasca pembentukan Provinsi Banten mungkin tak banyak tahu tentang sosok lelaki kelahiran 80 tahun lalu ini. Padahal, ia merupakan salah seorang pahlawan yang gigih memperjuangkan  terbentuknya Provinsi Banten pada era 60-an.
H.E. Muhammad Zainudin, demikian nama lengkap suami Hj Ayu Sechah tersebut. Bapak 13 anak ini dikenal istiqomah  mempertahankan cita-cita peningkatan status daerah tersebut.  
Tahun 1963, misalnya, dirinya bersama puluhan tokoh Banten membangun embrio awal pembentukan Provinsi Banten. Berbagai pertemuan sering digelar, antara lain di IAIN Maulana Syusuf (sekarang IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten).
Ketika itu, yang menentang habis-habisan hanyalah kelompok PKI. Namun ketika perjuangan itu nyaris membuahkan hasil, muncul isu bahwa cita-cita pembentukan provinsi itu ditunggangi PKI. Akibatnya, tahun 1972 Kodam Siliwangi mengeluarkan instruki agar para tokoh di Banten mencabut tanda tangan kebulatan tekad tersebut. Hampir semua penandatangan mematuhi intruksi Kodam. Satu-satunya tokoh yang berani menolak intruksi Kodam ketika itu hanya H.E Muhammad Zainuddin.
Dengan berbagai argumentasi dirinya melakukan pembelaan bahwa PKI tak terlibat dalam misi perjuangan suci ini. Keberanian Zainudin menuai pujian berbagai kalangan pada masa itu. Maklum, sebagai PNS dan juga Ketua  DPRDGR Pandeglang ia berani berseberangan pikiran dengan militer.
Namun akibat ketegasannya menolak mencabut tanda tangan dukungan pembentukan Provinsi Banten, Zainuddin sering menerima teror. Rumahnya sering didatangi tamu tak dikenal. Tujuan kedatangan para tamu itu hanya satu, mendesak Zainudin mencabut tanda tangan yang telah dibubuhkannya. Gaya dan tampang mereka beragam, mulai dari gaya bahasa merayu sampai menggertak.
Karena merasa terganggu dan ogah membatalkan dukungan terhadap pembentukan Provinsi Banten, Zainudin sering kucing-kucingan dengan para tamunya. Untuk menghindari  para kelompok penekan tersebut, Zainudin yang ketika itu baru memiliki 10 anak tak jarang mengungsi sendirian ke Gunung Karang. Peristiwa itu terjadi, ketika Jawa Barat dipimpin Gubernur Solichin GP.

Ladang pahala

Dari garis raut wajah mantan aktivis sejumlah organisasi angkatan 60-an itu, terlihat jelas sisa-sisa semangat juangnya yang tak kenal lelah. Sorot matanya masih tajam, setajam rekaman pikirannya. Ketika cerita soal masa perjuangan, misalnya, ia bisa menuturkan dengan lancar lintasan peristiwa yang pernah dilaluinya.
Pria kelahiran 17 April 1925 itu mengaku bersyukur masih diberi kesempatan menyaksikan lahirnya bayi mungil bernama Provinsi Banten. Lebih bersyukur lagi, peningkatan status daerah itu ternyata juga diikuti oleh berbagai kemajuan pembangunan. Ia berharap, kemajuan di segala bidang itu bisa menjadi ladang pahala bagi para mantan pejuang pembentukan Provinsi Banten.
Meski sepak terjangnya dalam ikut memperjuangan provinsi tak bisa diragukan, namun nampaknya pengagum H.O.S Cokroaminoto dan Bung Karno yang menikah pada usia 21 tahun itu kurang mendapat perhatian dari generasi pasca Provinsi Banten. Salah satu indikasinya, beberapa kali pesta HUT Provinsi Banten digelar namun nama pahlawan ini tak pernah dimunculkan.
Nama mantan Ketua Fron Nasional Pandeglang ini juga tak termasuk dalam daftar panjang para tokoh penerima penghargaan yang dipelopori beberapa organisasi di provinsi ini. Mantan Ketua PSII Pandeglang yang pernah menjadi  guru ini nampaknya termasuk dalam kloter pahlawan yang dilupakan sejarah.
“Prinsip perjuangan saya, mengabdilah untuk masa depan bangsa dan negara sekuat kemampuan. Tapi, jangan sekali-kali berharap orang lain memberi imbalan atas pengabdian tersebut,” kata mantak Ketua DPRGR pertama Kabupaten Pandeglang.

Irigasi Teluk Lada

Tokoh pergerakan yang matang dalam dunia birokrasi tersebut, banyak menelorkan gagasan-gagasan brilian bagi kemajuan pembangunan di daerahnya. Salah satu proyek monumental yang lahir dari pikiran cerdas Zainudin adalah Irigasi Teluk Lada di Pandeglang.  Ketika itu, Zainudin menjabat sebagai Ketua DPRGR Kabupaten Pandeglang.
Sekitar tahun 70-an, Zainudin sudah memprediksi Pandeglang bakal menjadi langganan Banjir bila diguyur hujan berhari-hari. Namun ketika kemarau datang, para petani yang akan sengsara. Mereka akan mengalami gagal panen, karena sawah kekeringan. Kecamatan Patia, Pagelaran, dan Panimbang misalnya,  merupakan daerah paling menderita sepanjang musim. Pada musim kemarau, daerah ini selalu kekeringan. Namun pada musim hujan, daerah tersebut selalu menjadi langganan banjir.
Setelah merenung cukup lama, Zainudun menemukan formula jitu. Yakni, perlunya dibangun irigasi. Namun ia sadar, untuk membangun irigasi dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Ia juga yakin, keuangan Pemkab Pandeglang tidak mungkin mampu mencumponi proyek tersebut.
Namun ia merasa, gagasan tersebut terlalu sayang bila tidak disampaikan kepada pihak-pihak terkait di Pandeglang. Ia yakin, bila proyek irigasi tersebut  terwujud maka Pandeglang bukan hanya terhindar dari langganan banjir, namun juga para petani akan tertolong karena sawah mereka tak kekurangan air.  
Benar saja, ketika gagasan itu disampaikan ke pemkab,  Bupati Karna Suhanda menolak mentah-mentah. Alasannya masuk akal, keuangan pemkab tak mungkin cukup untuk menalangi proyek tersebut. Namun jika Zainudin punya solusi soal anggaran, bupati mengaku akan menyetujui proyek tersebut.
Karena mendapat lampu hijau, Zainudin kembali berpikir mencari terobosan anggaran. Ketika dalam benaknya melintas sepak terjang Bank Dunia (ADB) yang sering membiayai proyek-proyek besar, wajah Zainudin berubah cerah. Ia merasa menemukan titik terang. Ia melihat jalan terbuka lebar untuk mewujudkan impiannya.
Esoknya, Zainudin kembali menemui Bupati Karna di ruang kerjanya. Ia berupayua meyakinkan bupati, bahwa proyek itu bisa dibangun lewat bantuan dana dari Bank Dunia. Karena argumentasi yang dipaparkan Zainudin cukup logis, bupati menyetujui gagasan Zainudin. Benar saja, beberapa bulan kemudian Bupati Karna mengajukan usulan proyek Irigasi Teluk Lada kepada Gubernur Jawa Barat, Mashudi.
Sekitar tahun 1976, proyek irigasi Teluk Lada mulai direalisasikan dengan bantuan dana pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB). Dalam pengerjaanya, proyek tersebut dibangun dalam tiga tahap. Tahap pertama, pembangunan bendungan Ciliman kiri, Cilemer kiri, saluran induk sepanjang 49 kilometer, saluran sekunder 13 km, jaringan irigasi tersier, serta tanggul banjir sepanjang 18 km. Proyek irigasi Teluk Lada tahap pertama tersebut menelan biaya sekitar Rp21,2 miliar. Besaran dana tersebut, Rp14,2 miliar dari APBN dan sisanya Rp7 miliar dari ADB.
Tahap kedua, proyek ini menggunakan biaya dari APBN Rp16,88 miliar dan ADB Rp43,1 miliar. Dana tersebut dialokasikan untuk membangun enam bendung di daerah Cibaliung, Cibinuangeun, hingga Cilangkahan di Kabupaten Lebak. Selain itu, dana tersbeut juga dimanfaatkan untuk membangun 91 km saluran induk, 86 km saluran sekunder, jaringan irigasi, serta tanggul banjir 40 km.
Sedangkan pada tahap ketiga, direncanakan membangun Bendung Ciseukeut, Cibama, Cimoyan, Cisata, dan Cikadueun. Selain itu, pada tahap ini juga direncanakan pembangunan tanggul banjir Sungai Ciliman dan Cilemer. Namun, hingga tahun 1997 proyek ini tak kunjung dikerjakan karena terbentur krisis ekonomi.
Akibatnya, misi awal awal pembangunan irigasi Teluk Lada, yakni menanggulangi kekeringan dan banjir, hingga kini belum tercapai. Nyatanya, hingga saat ini kawasan Patia, Pagelaran dan Panimbang masih menjadi langganan kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan.
Proyek mercusuar itu, kini mubazir karena tak banyak bermanfaat untuk masyarakat Pandeglang. Hampir seluruh jaringan sekunder dan tersier irigasi ini tidak berfungsi. Akibatnya, lebih dari 50.000 hektare lahan di Pandeglang tetap menjadi sawah tadah hujan, meskipun berada dalam jaringan irigasi Teluk Lada. Sementara banjir dan kekeringan tetap saja menjadi momok menakutkan bagi para petani di Pendelang.
Pada tahun 2001, misalnya, Pandeglang diporak-porandakan oleh banjir besar. Genangan setinggi 1 meter hingga 3 meter merendam empat kecamatan, yakni Pagelaran (saat ini dimekarkan menjadi Kecamatan Pagelaran dan Patia), Picung, Saketi, dan Menes. Sekitar 1.700 rumah rusak berat dan 4.000 lainnya rusak ringan. Banjir juga merusak 38 sekolah dasar, tujuh balai desa, delapan jembatan, serta jalan sepanjang 15 km.
Zainudin, penggagas irigasi Teluk Lada, kembali mengingatkan pemerintah pusat agar segera  mengambil langkah kongkret untuk memanfaatkan irigasi di sepanjang Sungai Ciliman-Cilemer tersebut. Jika tidak, ia khawatir dana puluhan juta dolar yang telah diinvestasikan pada proyek tersebut akan terbuang sia-sia (mubazir).

Di usianya yang sudah kepala delapan, pejuang pembentukan Provinsi Banten yang juga penggagas proyek irigasi Teluk Lada itu hidup tenang bersama 13 putra/putrinya. Mereka masing-masing H. Endang Syarifudin, Hj. Oceu Chusnaeniah, Syaeful Hayat, Dra. Yeni Rachmawati, Daday Nurhidayat, Drs. Ach. Jatmika, Drs. H. Cepi Safrul Alam, M.Si, Hj. Tintin Suhartini, Dra. Tini Khatmamiah, M.Si, Drs. Ismet Moh. Suhud, M.Si, haikal Muslim, S.Sos, Fatahillah, S.Pd, dan Rt. Ayu  Ani Rohmah, SE. *** 
, 0 Comments

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Qori Nasional Pertama dari Banten

Ponpes Alquraniyyah Kesultanan Banten

KH. Ahmad Maimun Alie, Lc, MA