Pelopor Rekonstruksi Kesultanan

KETIKA mengemuka tentang rencana rekonstruksi raya atas Kesultanan Banten, ada dua sikap yang berbeda menanggapinya: pro dan kontra. Mereka yang pro, tentu saja mendukung segala rencana itu. Pihak yang kontra, ada yang menganggapnya sebagai akal-akalan Drs. Ismetullah Al-Abbas saja, Ketua Yayasan Sultan Hasanuddin Banten, yang ingin mendapat posisi sosial di tengah masyarakat Banten. Lagi pula, kata yang kontra itu, buat apa mendirikan kembali hal-hal yang berbau feodalisme.
“Biarlah orang menuduh saya macam-macam. Tapi percayalah, saya tidak seburuk yang diduga sebagian orang itu,” kata Ismetullah tenang.
Memang, jika berbicara soal Banten Lama atau rekonstriksi raya Kesultanan Banten, tampaknya tidak akan  bisa melewatkan nama tokoh satu ini. Pro dan kontra yang melekat dalam dirinya, justru semakin menguatkannya sebagai tokoh yang namanya sering dikait-kaitkan dengan keberadaan Banten Lama. Bahkan kalau hendak bicara soal Banten Lama, pemerintah juga merasa harus menyertakan pria yang satu ini. Kenyataan tersebut, secara tidak langsung merupakan bentuk pengakuan terhadap ketokohannya.
Ismetullah Al Abbas (40), putera kedua dari delapan bersaudara pasangan KH. Tubagus Wasi’ Abbas (Tubagus Kuncung) dan Hj. Siti Junaidah Ali Hasan.  Dilihat dari silsilah keluarga, Ismetullah merupakan generasi kedua belas dari Sultan Maulana Hasanuddin. Mantan aktivis HMI Jakarta ini,  memang lembut dalam bertutur sapa, namun  kokoh memegang prinsip. Tentang rencana rekonstruksi Banten Lama misalnya, ia bertekad tidak akan menyerah.
“Saya tidak pernah bermimpi ingin menjadi sultan. Rekonstruksi ini merupakan panggilan moral, agar budaya Banten bisa tumbuh dan bertahan di era globalisasi ini. Sebab itu, saya sama sekali tidak bermaksud ingin membangun feodalisme baru. Kalau dalam perjalanannya bibit feodalistik itu akan muncul, maka saya orang pertama yang akan membabatnya,” ujar alumnus Fakultas  Ilmu Politik Universitas Nasional ini.
Suami Trialita Arta Mayasora, BA yang dikaruniai tiga anak ini dikenal dekat dengan kalangan mustadh’afin dan masakin. Kedekatan itu bukan hanya tampak dari berbagai aktivitasnya dalam organisasi sosial. Namun juga secara langsung mengurus yatim piatu dan anak dari keluarga kurang mampu. Setidaknya, sebanyak 160 anak yatim piatu saat ini berada dalam asuhan  yayasan yang dimotorinya.
Setiap hari pintu rumahnya hampir tidak pernah tutup. Sebab tamu terus bardatangan, baik dari Banten maupun dari luar Banten. Banyak orang yang berkonsultasi tentang berbagai hal kepadanya. Karena itu, seringkali dia tidak bisa beranjak dari tempat tinggalnya.
Jauh sebelum daerah ini menjadi provinsi, Ismetullah mengaku sudah memiliki keinginan merekonstruksi kesultanan. Tetapi ketika itu, ia menilai momentumnya belum tepat. Jadi, keinginan menggebu tersebut diendapkannya. Saat ini, ia melihat momentum yang ditunggu itu sudah tiba.
Ia mengaku berhutang budi kepada Prof. Dr. HMA Tihami, MA  dan tim yang serius memikirkan soal ini. Sebelumnya ia tidak menyangka, keinginan tesebut sejalan dengan pikiran para intelektual Banten. Mereka, kata Ismetullah,  tidak punya kepentingan apa-apa, murni ingin membangun Banten.
Soal keterlibatan Tihami, ia menuturkan cendikiawan Banten itu sebagai figur yang suka keluyuran ke sana ke mari mencari untuk meneliti berbagai hal. Sebagai peneliti, katanya, Tihami mulai memikirkan tentang kemungkinan merekonstruksi Kesultanan Banten. “Sejauh itu, ia tidak langsung mendiskusikannya dengan saya, namun melakukan penelitian-penelitian tentang kesultanan di Kutai dan daerah lainnya. Setelah memiliki modal informasi yang kuat, baru ia mendiskusikan soal ini dengan kami. Karena positif, saya langsung menyambutnya,” ungkap Ismetullah.
Menurut Ismetullah, pemda  baru memberi perhatian kepada Banten Lama pada soal fisik. Oleh sebab itu, ia merasa berkewajiban melanjutkan cita-cita pemda itu dengan cara lebih menitikberatkan pada pembangunan non-fisik.
Ismetullah menuturkan soal misi yang ingin dicapai dengan rekonstruksi tersebut. Dijelaskan, periode 1809-1832 adalah masa penghancuran Keraton Surosowan oleh Daendels. Keraton sebagai pusat kekuasaan sekaligus pelindung rakyat, semakin pudar pamornya. Kejayaan Kesultanan Banten hanya tinggal cerita. Kita ingin membangun kembali kebanggan warga Banten atas kejayaan masa lalunya, melalui sebuah rekonstruksi. Selama ini, nama besar Banten seringkali hanya “dirental” orang untuk kepentingan sempit sesaat.
“Lalu, mengapa tidak kita bangun kembali saja keberadaan kesultanan ini,” ungkapnya.
Menurut Ismetullah, ada tiga sasaran yang akan diperjuangannya bersama tim. Pertama, membantu mensinergikan antara program pemda dan program pemerintah pusat tentang pembangunan fisik. Dalam kaitan ini, tim tidak akan masuk pada wilayah kekuasaan. Hal itu sepenuhnya diangap sebagai wilayah eksekutif dan legislatif.
“Jadi sama sekali tidak benar kalau kami ini dituduh akan mendirikan negara dalam negara.  Dalam mewujudkan program ini, tentu saja kami akan selalu konsultasi dengan eksekutif dan legislatif,” ungkapnya.
Kedua, lanjut Ismetullah, bertekad membangun kembali kultur dan budaya Banten yang sudah banyak ditinggalkan. Pada poin ini, pihaknya akan mengajak serta para budayawan dan seniman. Ia sadar, untuk mewujudkan cita-cita tersebut tidak mungkin bisa berjalan sendiri.
Ketiga, ujarnya, membangun struktur organisasi kesultanan. Dalam hal ini, akan berupaya mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang struktur Kesultanan Banten pada masa dulu. Karena ini menyangkut kepentingan Banten, ia yakin perjuangan ini akan mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat.
Namun Ismetullah meminta masyarakat tidak buru-buru membayangkan bangunan fisik tersebut sebagai tempat sultan bersemayam. Bangunan itu, katanya, akan difungsikan untuk pusat aktivitas kebudayaan, seni, dan pengkajian-pengkajian keislaman dan pengetahuan lainnya. Keraton akan berfungsi sebagai kekuatan moral  bagi masyarakat. Nantinya, lanjut Ismetullah, siapa pun berhak memanfaatkan bangunan tersebut, bukan hanya keluarga besar Kesultanan Banten.
“Selama ini kan kita belum punya gedung seperti itu. Jadi jangan ada banyangan Sultan Banten itu nanti akan dikelilingi dayang-dayang sambil dikipasi,” candanya.
Ismetullah berharap, rekonstruksi tersebut akan membawa manfaat untuk rakyat. Coba bayangkan, kata dia, kalau rekonstruksi ini terealisasi maka tamu-tamu yang berkunjung ke Provinsi Banten pasti ingin melongok ke Banten Lama. Kedatangan mereka itu bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. Kenyataan ini juga bisa memancing meningkatnya gairah berusaha dan berwisata. Pada giliranya, lanjut Ismetullah, keadaan ini akan memberi sumbangsih tersendiri bagi pendapatan asli daerah (PAD). Ia mengakui, untuk merealisasikan cita-cita tentang rekonstruksi itu butuh waktu lama. Apalagi  untuk bidang fisik, dana yang dibutuhkan tidak sedikit.
Ia menegaskan, rekonstruksi tersebut bukan hanya sekedar bernostalgia, melainkan juga untuk mencari kebenaran sejarah. Hal ini diyakininya akan menjadi kebanggaan masyarakat Banten.
“Tetapi jika belum apa-apa ada yang pesimis atau bahkan mengecilkan upaya ini, maka itu hak seseorang. Yang pasti, kami ingin berbuat sekuat tenaga untuk membangun daerah ini. Terhadap mereka yang berpikiran beda, saya sangat menghargai. Tetapi kita juga jangan berpikir kebalik. Orang yang merusak bangunan negara disebut reformis, tetapi yang berupaya membangun daerah malah dicurigai,” sindirnya.
Tentang pro dan kontra dalam internal keluarga besar kesultanan,  Ismetullah menganggapnya sebagai dampak dari minimnya informasi tentang rencana ini. Ia yakin, jika sudah paham betul maka seluruh keluarga besar akan satu kata.
“Sekarang ini kan baru pada tahap studi. Kalau sudah selesai, kami akan mengkajinya lewat sarasehan. Ke dalam, kami juga akan melakukan pertemuan keluarga. Keluarga yang akan diundang tidak hanya kalanngan tubagus dan ratu, tetapi juga ayip dan  syarifah, entol, dan permas (mas),” ungkapnya.
Dalam sarasehan dan pertemuan yang terbuka itu, ia mempersilahkan peserta pertemuan membicarakan sebebas-bebasnya bermasalah yang terkait rekonstruksi kesultanan. Silakan juga dibicarakan dengan bebas siapa yang akan ditunjuk sebagai sultannya. Dia yakin, pembicaraan masalah figur sultan itu tidak akan menjadikan keluarga besar terpecah belah.
Di mata Ismetullah, hingga saat ini Banten Lama masih menyimpan kekuatan spiritual. Hal itu, kata dia, dibuktikan dengan jutaan peziarah yang berbondong-bondong berebut air dari sumur Banten.. Kalau di tanah Banten ini tidak ada kekuatan spiritual, hal itu tidak akan terjadi.

“Saya ingin tegaskan, kalau ada yang mengaku orang Banten tetapi perilakunya suka mengintimidasi, menebar teror di mana-mana, dan memprovokasi, maka dia tidak layak mengaku orang Banten. Sebab ketegasan karakter Banten bukan dalam bentuk seperti itu,” katanya. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Qori Nasional Pertama dari Banten

Ponpes Alquraniyyah Kesultanan Banten

KH. Ahmad Maimun Alie, Lc, MA