”Pasaran” Alfiyah di Ponpes Cangkudu
PONDOK Pesantren Riyadlul ‘Awamil menjadikan Ramadan sebagai momentum untuk mengkaji kitab klasik yang lebih spesifik. Bagi para santri di pesantren tersebut, kajian Ramadan merupakan hajat tahunan yang menggairahkan.
Hajat tahunan di pesantren berlokasi di Blok Kebon Cangkudu Sukamanah, Baros, tahun ini, diisi dengan pasaran kitab Alfiyah (Ibnu Aqil) dan Badai’u Zuhur.
Meski
lokasinya terpencil, namun Pesantren Cangkudu banyak didatangi santri
musiman dari berbagai daerah. Umumnya, mereka adalah para mantan santri
yang kini sudah sibuk dengan dunianya masing-masing.
Pengasuh
Ponpes Riyadlul ‘Awamil, KH Sonhaji, mengungkapkan Kitab Alfiyah
merupakan pelajaran wajib bagi santri. Bait-bait kalimat dalam kitab
tersebut sarat dengan rumus nahwu sharaf praktis. Sedang Kitab Badai’u
Zuhur berisi tentang teori-teori asal usul kehidupan.
“Santri perlu mengkaji ke dua kitab tersebut, karena berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan,” ungkap kiai muda tersebut.
Sejarah
Pesantren
Riyadlul ‘Awamil didirikan Abuya KH. Muhammad Siddiq sekitar tahun
1908, berbarengan dengan didirikannya pergerakan Budi Utomo. Sekitar
tahun 1946, tampuk kepemimpinan pesantren diserahkan kepada putranya,
yakni Abuya KH. Ali.
KH Ali
tipe ulama yang tidak bisa tinggal diam melihat negerinya dikoyak-koyak
penjajah. Di tengah kesibukanya mendadar santri, ia sering terlibat
dalam pertempuran sengit melawan penjajah. Malam hari ia sibuk mengkaji
lembar demi lembar kitab kuning bersama santrinya. Namun pada siang
hari, ulama bertubuh tegap ini keluar masuk hutan sambil memanggul
senjata.
Takdir
bicara lain. Dalam suatu pertempuran sengit melawan penjajah, KH Ali
syahid di medan laga. Ia “mengabdikan diri” pada dunia peperangan, demi
cinta baktinya kepada bangsa dan negara. Syuhada yang besar di dunia
pesantren tersebut, dimakamkan di Makam Seribu, Serpong.
Sepeninggal
KH Ali, KH Muhammad Siddiq kembali mengambil alih kepemimpinan
pesantren. Namun karena alasan usia, ia menyerahkan pesantren yang sudah
melahirkan ribuan santri itu kepada salah seorang menantunya, yakni
Abuya KH. Abdul Salam. Setelah memimpin beberapa tahun, KH Abdul Salam
menyerahkan pesantren yang diasuhnya kepada KH. Badruddin, menantunya.
Di
tangan KH Badruddin, Pesantren Riyadlul ‘Awamil berkembang pesat.
Santrinya bukan hanya penduduk Pulau Jawa, namun juga datang dari
berbagai daerah di Tanah Air.
Pada
tahun 1993, KH. Badruddin dipanggil Yang Maha Kuasa. Ia meninggalkan
sembilan anak dan sekitar 700 santri. KH Sonhaji, putra sulung KH
Badruddin, tergerak untuk mengambil kendali. Padahal ketika itu, usia
pria berpenampilan tenang ini baru menginjak 17 tahun.
“Sebagai
putera sulung, saya terdorong untuk melanjutkan cita-cita beliau. Kalau
tidak, pesantren ini bisa bubar,” ungkap KH Sonhaji.
Pada
tahun-tahun awal kepemimpinan KH Sonhaji, jumlah santri merosot tajam.
Dari sekitar 700 orang, hanya tersisa seratus santri. Di antara para
santri ada yang pulang kampung, tetapi tak sedikit yang memilih pindah
ke pesantren lain.
“Antara
tahun 1994 sampai 1996 saya anggap sebagai tahun cobaan paling berat.
Tapi saya tidak boleh menyerah. Nenek moyang saya berjuang sambil
memanggul senjata, sementara saya hanya tinggal duduk ngelepoh. Saya malu, kalau harus menyerah,” katanya, mengenang
Perjuangan, ketabahan dan keuletan KH Sonhaji tak sia-sia. Saat ini, Pesantren Riyadlul ‘Awamil bukan saja mampu mengundang ratusan santri dari berbagai pelosok daerah, namun juga “sedang belajar” menggarap bidang non-kitab kuning.
Komentar
Posting Komentar