Pahlawan Kaum Kusta
Kusta
bagi para tokoh elite nasional, tidak dipandang strategis. Ia sadar
posisi ini akan membuatnya berjuang lebih panjang, ia pun “membiasakan”
untuk terus mengayam sinergi dengan berbagai pihak meski dilibas
keterbatasan. Tapi sampai kapan? Potret kegigihan seorang pejuang kusta
di Banten.
BAGI
sebagian besar anak bangsa, penyakit kusta identik dengan kutukan. Itu
sebabnya, mereka beranggapan para penderita kusta harus dijauhi atau
diasingkan. Kenyataan itu diperparah dengan masih minimnya pengetahuan
masyarakat tentang kusta. Alih-alih menolong, warga malah ketakutan bila
berdekatan dengan penderita penyakit tersebut.
Nasib
tragis yang menimpa komunitas kusta, mengusik perhatian Badar Bajrey.
Pria kelahiran 12 Oktober 1951 ini bertahun-tahun membangun opini
tentang pentingnya “memanusiakan” komunitas kusta. Menurut bapak tiga
putra (Zakky, Riyadh, dan Hisyam – buah pernikahannya dengan seorang
dosen- komunitas kusta punya hak yang sama dengan anak bangsa lainnya.
Mereka patut mendapat perhatian, terutama dari pemerintah. Apalagi,
penyandang kusta– terlebih yang sudah telanjur cacat- lebih banyak
terbebani aspek sosial dibanding penyandang cacat umum. Selain
ketakberdayaan membiayai keluarga, yang berat, keterasingan mereka dari
masyarakat. Ironisnya, anak-anak mereka yang umumnya sehat/tidak terkena
kusta, mewaris nasib orangtuanya. Mereka dijauhi masyarakat kebanyakan.
Jatuh-bangun LSM Kusta
Demi
komunitas kusta, Badar rela mengisi sebagian hari-harinya dengan
kesibukan melobi berbagai pihak pejabat terkait. Ia sadar, urusan ini
nyaris tanpa ujung. Akan tetapi ia yakin, dari sekian banyak orang yang
ia temui, akan ada yang punya kepedulian dengan tinkat partisiapsi dan
kontribusi beragam. Ia ingin mengangkat harkat dan martabat para
penderita dan mantan penderita kusta serta keluarganya. Hal itu
dilakukan, dengan terus mencari dukungan guna berdirinya suatu wadah
atau lembaga yang dapat mengayomi para penyandang kusta yang diakui
pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sayang, usahanya belum menangguk
hasil memuaskan.
Tahun
2003, Badar membentuk yayasan khusus bagi penyandang kusta yang bernama
yayasan SIDKKI (Santunan untuk Insan Penderita Kusta dan Keluarganya di
Seluruh Indonesia) Bina Mandiri/SBM. SMB, tertatih-tatih meski lumayan
meirngankan beban komunitas kusta. Satu dua macam santunan, sempat rutin
berlangsung bagi komunita skusta, mulai beasiswa, sembako, pengobatan,
dan berbagai program yang sifatnya charity.
Cara
“mengeteng” proposal untuk tema-tema parsial, mulai merepotkannya,
karena itu sama dengan membangun kebergantungan berkepanjangan.
“Padahal, ini kan hak warga bangsa yang kebetulan menyandang kusta.
Seharusnya, mereka diayomi nsibnya, kalau pemerintahnya memegang amant
Undang-undang Dasar,” ungkapnya, seraya mengusap wajahnya yang
berkeringat dan mulai dihias garis-garis usia. Maka, ia mulai berpikir
langkah strategis: bagaimana aktivitas sosial memperoleh payung
kelembagaan, di mana pemerintah secara permanen ikut terlibat dalam
memikirkan dan meringankan problem kusta yang begitu komplek.
Tahun
2005, ia mencoba menggalang dukungan mahasiswa Tangerang, intelektual
dan dokter. Salah seorang yang ikut antusias di tahap-tahap awal,
dokter Doni Yandra - seorang tokoh Banten – untuk bersama-sama membentuk
Lembaga Kusta Indonesia/LKI. “Semua yang hadir, rasanya sih setuju
sekali, kusta yang belum punya payung kelembagaan di level nasional,
dipelopori kita yang ada di Banten. Kalau saya sederhana saja, kusta
diurus sebagaimana penyandang masalah sosial lainnya. Terserah, kalau di
antara yang hadir ketika itu, mengharapkan sebuah ruang eksistensi yang
lebih luas, berskala nasional,” kenang Badar.
Badar
mengungkapkan, tanpa ingin mengecilkan arti dukungan moril para tokoh
yang ia rangkul, nyatanya ia hanya memperoleh dukungan semu. Padahal
saat akan mendirikan LKI, ia sudah menemui banyak tokoh di Tanah Air.
Misalnya, KH Ma’ruf Amin- Ketua MUI yang putra daerah Tangerang, dr
Joserizal Jurnalis -pendiri MER-C, para pejabat Depsos, dan banyak pihak
lainnya. Ia juga tak kenal lelah melobi DNIKS/Dewan Nasional Indonesia
untuk Kesejahteraan Sosial. Namun sekali lagi, ia hanya memperoleh
dukungan semu. Tak ada selangkahpun wujud nyata dukungan. Kata-kata
indah, lewat begitu saja.
Ikhtiar pembentukan LKI, berjalan simultan dengan inisiatif menggaet lembaga professional yang biasa menangani dana Corporate Social Responsibility
(CSR), wjud kepedulian sosial perusahaan. Badar merapat ke dua tokoh
bisnis Indonesia yang mumpuni, yakni Fahri Muhammad (tokoh periklanan
dan bos grup SMART Radio) dan Jacky Ambadar (Direktur Survei Riset
Indonesia/SRI yang juga penyelenggara CSR Award).
Pilihan
yang sepintas sudah tepat. Kombinasi publikasi melalui media massa dan
kampanye oleh ahlinya (professional) dan organizer handal bidang sosial,
seharusnya meledakkan sebuah efek kepedulian ang konkret. Mulailah
beberapa bulan rapat demi rapat dilalui. Semua sepakat, akan digelar
sebuah event nasional bertajuk “Indonesia Peduli Kusta/IPK” dengan
serangkaian aktivitas yang berfokus pada komunitas kusta, baik yang
sifatnya karitatif, produktif (pemberdayaan ekonomi) maupun menepis
stigma bagi mantan penderita kusta. Namun nyatanya, setiap pertemuan
mentok pada sponsorship yang tak kunjung tergaet.
“Rasanya,
saya malu terus menerus menagih janji, kapan terlaksananya event ini.
Saya sendiri begitu bersemangat merespon gagasan IPK ini. Apalagi, di
ujung event komunitas kusta akan memperoleh unit usaha produktif
sehingga tak perlu mengemis kemana-mana, karena lembaga bisnisnya sudah
terbentuk. Secara teori, saya yakin kalau ada yang mengucurkan modal
usaha dan pendampingan, kami takkan mengemis lagi. Semangat saya untuk
menyukseskan IPK, sempat mengabaikan usaha kecil-kecilan yang saya
kelola untuk kehidupan keluarga saya di rumah. Tanpa sponsor, IPK hanya
mimpi,” papar mantan pengusaha leveransir tahun 1980-an.
Menyederhanakan impian
Sadar,
impian pengayoman level nasional untuk komunitas kusta terlalu mewah,
Badar menyederhanakan rencana. Tahun 2006, dia mencoba menggalang
dukungan dari berbagai pihak baik LSM maupun pejabat dari instansi
terkait di Provinsi Banten guna mendirikan Lembaga Kusta Daerah/LKD
Provinsi Banten. Karena urusannya memang di seputar Banten, Badar merasa
cukup sanggup mengontrol prosesnya. Pertemuan demi pertemuan
berlangsung tanpa sadar sampai jalan setahun. Satu demi satu tokoh
komunitas kusta yang terlibat, sudah berpulang ke rahmatullah. Antara
lain Sudarman DG yang sangat rajin menulis mengenai komunitas kusta.
Akan tetapi, Lembaga Kusta Daerah Banten tak kunjung terwujud.
Banyak
alasan adminsitratif yang mengganjal. Mulai dari penantian sampai
Gubernur Banten definif-lah, pembentukan SK dari instansi terkait-lah.
Banyaknya tuntutan dari birokrasi, membuat Badar merasa sudah
hambur-hamburkan waktu, tenaga, pikiran juga biaya pribadi untuk
kesana-kemari merespon syarat demi syarat yang diminta pejabat-pejabat
terkait. Saampai tahun kedua usia lembaga ini, belum nampak tanda-tanda
akan memperoleh legitimasi atau dukungan dari pemerintah.
Badar
luar biasa heran, mengapa pemerintah begitu sulit mengakui lembaga ini?
Padahal Badar yakin, keberadaan LKD akan meringankan problem pemerintah
khususnya pemerintah Banten. Dengan LKD, kusta relatif terkendali
penanganannya, karena melibatkan para praktisi sosial terkait dengan
kusta, merakit seluruh elemen LSM yang berkhidmat untuk kusta.
“Kami
bisa melaporkan perkembangan penanganan masalah sosial kusta.
Pengemis-pengemis kusta tidak perlu dibersihkan. Insya Allah, dengan
legitimasi dan alokasi anggaran sosial yang jelas, menempatkan LKD
sebagai lini terdepan yang menutupi kekurangan pemerintah khususnya
dalam masalah kusta,” katanya.
Bahkan,
menurut Badar, LKD akan menjadi institusi pertama di Indoensia yang
dipelopori Banten, untuk seterusnya akan dibentuk di daerah-daerah
lainnya. Ini seharusnya menjadi pioint tersendiri bagi pemerintahan
Banten saat ini.
“Kami
didukung orang-orang yang amanah, terbiasa mengelola dana umat sehingga
takut sekali kalau mau mengemplang dana sosial. Jadi, kenapa masih
terganjal juga,” ungkap Badar.
Faktor
lain yang membuatnya prihatin, perkembangan kusta di Indonesia meningkat
secara kuantitas maupun kualitas. Artinya, jumlah penderita baru kerap
ditemukan, termasuk di Provinsi Banten sendiri. Selain itu, ditemukan
penderita kusta usia balita, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam
duapuluh tahun silam.
Ilmu
kesehatan modern menyebutkan inkubasi kusta 15-20 tahun. Nyatanya, bayi
juga kena kusta. Artinya, penanganan kusta makin longgar, pihak yang
berwenang menangani kusta kurang ketat dalam mengurus gerakan
mengeliminsi kusta.
“Ini
fenomena yang mirip dengan TBC, penyakit yang sebetulnya mudah
disembuhkan. Akan tetapi, karena manajemen penanganannya kurang amanah
maka orang TBC yang miskin mengembangbiakkan TBC kemana-mana karena tak
terjamah layanan kesehatan. Kusta juga begitu. Tanpa peran serta dan
dukungan pemerintah secara konkret, kusta bisa muncul di mana-mana.
Kusta ditakuti, tapi manajemen penanganan kusta amburadul,” kata Badar
kesal.
Sudah
amburadul, ikhtiar masyarakat meringankan beban pemerintah, hampir
selalu diabaikan. Ironisnya, kata Badar, Departemen Kesehatan masih
berleha-leha sambil mengatakan bahwa angka penyandang kusta sudah
menurun! Luar bisa. Demi citra, mereka tega menutupi fakta.
Badar
dalam keterbatasannya, saat ini sudah tak bisa menulis dengan tangannya
kecuali mengetik di keyboard komputer tertatih-tatih karena tremor
tangan yang sesekali mengganggunya. Namun, ia masih rajin mengakses data
melalui internet.
“Meskipun saya harus keluar duit buat membayar internet, biar tidak ketinggalan, saya browsing
macam-mcam informasi terutama yang bermanfaat untuk memberdayakan
komunitas kusta. Yang mengagetkan, masih saja ditemukan di Indonesia,
bahkan di Banten, para penderita baru. Koran lokal di Banten saja memuat
temuan Netherland Leprocy Relief/NLR
– organisasi peduli kusta dari Belanda yang masuk Indonesia sejak tahun
1960-an, Banten termasuk mencolok perkembangan kustanya,” katanya.
Oleh
sebab itu, ia sangat ingin para petinggi pemerintah di Banten sadar.
“Saya repot-repot memperjuangkan LKD bukan untuk kepentingan pribadi. Naudzubillahi mindzaalik.
Saya cuma ingin, sebelum saya mati komunitas kusta di Banten, juga di
Indonesia, terayomi lembaga yang cukup representatif. Masa, harus
pasrah diurusi lembaga dari Belanda seperti NLR sejak tahun 1960-an
sampai sekarang. Bukannya berkurang, malah berkembang kustanya. Apa
nasionalisme pejabat kita sudah amblas?”
Terkait
dengan temuan dan pengalamannya, Badar mengungkapkan kebijakan-kebijakan
Pusat (Departemen Kesehatan) telah menurunkan standar pengobatan
terhadap penderita kusta. Penyakit kusta cukup diserahkan ke
Puskesmas-Puskesmas saja, dengan iming-iming penderita dapat berobat
gratis, padahal di Puskesmas tak tersedia tenaga terlatih untuk masalah
kusta. Bukan itu saja, penderita sakit lainnya biasanya ogah diobati
bersama-sama penderita kusta, dan tenaga medis yang tidak dibekali
wawasan memadai bagaimana menangani kusta, menghindari kontak dengan
penderita kusta.
Terasa
sekali, penyandang kusta mengalami penurunan layanan kesehatan. Layanan
saat ini tak sebaik dulu, tak cukup memadai tindakan pengobatan maupun
pencegahan kecacatan fisiknya melalui fisioterapi yang dulu biasa
dilakukan di rumah sakit. Penerangan, pemeriksaan maupun pencegahan
penularannya terhadap keluarga terdekat juga seperti hilang dari
masyarakat kita.
“Jangan
heran, kalau kusta makin subur saja. Kalau ini terjadi, coba, salah
siapa? Kita yang membantu, diabaikan. Sebaliknya, yang punya kekuasaan
malah sibuk dengan tema-tema lain yang dananya lebih besar seperti
HIV/AIDS atau flu burung. Sementara penyakit kuno seperti kusta bahkan
TBC, masih bercokol di Indonesia,” keluh Badar.
Badar
tak habis pikir, mengapa masih terjadi pembiaran, tanpa langkah konkret,
ketika ada temuan kasus-kasus penderita baru yang masih sangat belia,
baru kelas satu atau dua SD, menyandang kusta bahkan cacat. Hal yang
langka dijumpai dahulu karena mereka yang terjangkit kusta umumnya sudah
berumur belasan tahun.
Menebus masa lalu
Problema
yang dihadapi para mantan penderita juga kian kompleks. “Mereka harus
berjuang keras membangun rasa percaya diri di tengah keterasingan
masyarakat, sekaligus membuka jalan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Tak ada lagi bimbingan dan pelatihan-pelatihan ketrampilan
yang memadai seperti dulu,” ungkap Badar yang kini mengajak keluarganya
untuk tinggal bersama ribuan keluarga mantan penderita kusta lain di
Kompleks Sitanala, Kota Tangerang. Ketua Umum Lembaga Kusta Banten (LKB)
Banten ini mengakui, perhatiannya yang besar pada komunitas ini tidak
lepas dari sejarah hidupnya sebagai mantan penderita juga. Empat tahun
lebih ia berjuang melawan kusta, setelah menjalani perawatan tahun 1967
sampai 1970. Ia melihat dan merasakan derita rekan-rekannya sesama
penderita, betapa sakitnya dijauhi keluarga maupun masyarakat
lingkungannya. “Jangankan bersosialisasi dengan lingkungan, penjaga
warung saja ogah menerima langsung uang belanja yang disodorkannya,”
ungkapnya.
Ia
sendiri masih bersyukur, hal itu tak terjadi dengan dirinya.
Keluarganya masih menerima sehingga dapat berkumpul lagi serta
melanjutkan pendidikan setelah keluar dari perawatan. Tidak demikian
dengan pasangan lainnya. Ada yang batal menikah karena calon
pengantinnya terkena kusta, ada yang diceraikan, artau ditinggal suami
atau istrinya begitu saja. AKhirnya, terjadi pernikahan antar mantan
penderita kusta yang melahirkan generasi yang sehat. Masalahnya, mereka
yang juga anak-anak bangsa Indonesia, terkena stigma kusta! Maka, demi kaum kusta, Badar
pun bertekad melakukan sesuatu, hal yang mewarnai hari-harinya saat
ini. Salah satunya yang masih menjadi obssi di usia senja, berperannya Lembaga Kusta Banten (LKB). “Alhamdulillah saya jumpa dengan seorang tokoh Banten, Bapak Haji Drs Ismetullah Al Abbas yang langsung tersentuh dan peduli dengan keadaan komunitas ini setelah mendengar cerita saya,:”
ujar Badar. Namun begitu, Pak Ismet adalah warga biasa, bukan
eksekutif di Banten. Perannya sebatas menggelorakan apa yang menjadi
cita-cita Badar dan komunitas kusta.
Badar berterima kasih, LKB bisa terbentuk pada Nopember 2006 atas dukungan penuh pak Ismetullah Al Abbas sebagai tuan rumah dari seluruh elemen yang hadir saat itu. Lembaga
ini lahir karena melihat kenyataan terabaikannya komunitas mantan
penderita kusta dan keluarganya. Mereka sudah dinyatakan sembuh oleh
dokter, tapi tetap saja masih dijauhi masyarakat. Badar mengenang, dulu,
sampai akhir 1980-an, baik penderita maupun mantan penderita diayomi
dan direhabilitasi di Kompleks Serba Guna Sitanala (KSG), Tangerang.
Luas kawasan yang diresmikan Wapres Mohammad Hatta ini semula mencapai
50 hektare, tapi kini sudah menyempit. ”Sekarang, perhatian pemerintah
terhadap masa depan mantan penderita kusta dan keluarganya, terus
menurun. Kami makin diabaikan.”
Pada
zaman Presiden Soeharto, ungkap Badar, penyakit kusta mendapat
perhatian setara dengan problem lainnya. Saat itu, mulai Pak Harto, Bu
Tien, dan Mbak Tutut aktif menyosialisasikan dan menunjang aktivitas
peduli kusta. Bahkan, mereka juga memelopori terselenggaranya pekan
olahraga dan seni bagi penyandang kusta. ”Justru ketika negeri ini
memasuki era reformasi, kaum kusta merasa kehilangan bapak angkat,”
papar bapak yang membuka usaha kios voucher, Aqua Galon dan gas elpiji
di rumahnya ini.
Padahal,
kata Badar, Kompleks Sitanala sudah mendunia. Tempat tinggal para
mantan penderita kusta tersebut sempat menjadi ikon studi penanganan
kusta di dunia. Tak heran jika Putri Diana dari Inggris pernah berkunjung dan berjabat-tangan dengan warga kompleks ini. Begitu pula beberapa LSM Eropa Netherland
Leprocy Relief (NLR) dan Britsh Leprosy Mission memberi perhatian
serius kepada kompleks ini dengan beberapa tahun menurunkan relawannya
mendampingi komunitas ini. “Orang bule saja
perhatian, tapi pemerintah sendiri malah mengabaikan. Terbukti,
komunitas kusta masih belum banyak ditolong,” ungkap Badar dengan wajah
lesu.
Kompleks
tersebut, tambah Badar, merupakan sentra rehabilitasi komunitas kusta
terbesar di negeri ini. Lokasinya menempati areal di RT
01 sampai RT 05 RW 13 Desa Karangsari Kecamatan Neglasari, Tangerang.
Di kompleks ini hidup ribuan jiwa mantan penderita kusta (manta) maupun penderita kusta (penta) serta keluarganya. Komplek
ini dihuni tak kurang dari 1100 KK. Mereka terdiri 700 KK Man-Ta dan
keluarga anak eks penderita 300 KK lebih . Terkait dengan ini, Badar
mengaku ingin bertemu Gubernur Banten Hj. Ratu Atut Chosiyah. Selain
melaporkan berdirinya Lembaga Kusta Banten, ia juga ingin menyampaikan
pesan dan harapan para warga komunitas kusta. Ia berharap, pemerintah daerah ikut ngotot membantu kaum kusta.
“Bayangkan,
sekarang ini ada indikasi penyebaran kusta yang lebih dini. Usia masih
sangat muda, tapi sudah terkena kusta. Kenyataan ini tak terjadi pada
kurun 20 tahunan silam. Dulu, kusta hanya menjangkiti orang dewasa.
Selain itu, sekarang muncul daerah-daerah baru yang masyarakatnya
terkena kusta,” ungkapnya dengan mimik serius.
Di
tengah kegagalan melahirkan wahana monumental bagi pemberdayaan
komunitas kusta, terutama lewat sokongan pemerintah maupun korporat,
gagasan Indonesia Peduli Kusta yang dimofdifikasi, memperoleh donasi
dari sebuah Lembaga Zakat Nasional, yaitu lembaga amil zakat (LAZ) Al
Azhar Peduli Ummat. “Dengan dana yang cukup besar, kami bisa
menggulirkan program-program untuk komunitas yang polanya partisipatif.
Program itu diusulkan warga komunitas kusta sendiri, kemudian didampingi
selama sekitar tiga bulanan oleh relewan independen yang diamanahi leh
LAz Al Azhar peduli Ummat. Dengan dana yang kalau hanya dibagi-bagi
hanya habis sesaat, kami bersama LAZ Al Azhar peduli Ummat bis
amengelolanya menjadi banyak program. Bahkan memicu program lanjutan
buat lembaga peduli lainnya,” kata Badar.
Di
Komplek Serba Guna Sitanala, LAZ Al Azhar Peduli Ummat, menggelar event
triwulan bertajuk Al Azhar peduli Kusta (APIK). Programnya memang charity,
sesuai kesanggupan lembaga meski bernuansa pemberdayaan. Bantuan organ
tubuh buatan untuk mantan penderita yang mengalami amputasi,
memberdayakan pengrajin/seniman komunitas ini. Puluhan organ tubuh
buatan, lahir dari usaha kecil Ali Saga yang bertekad mempekenalkan
usaha pembuatan organ buatannya ke rumah-rumah sakit di seluruh
Indonesia. “Harga sosial untuk program APIK, hitung-hitung promosi buat
dia. DIa mudahmudahan bisa sukses dengan usaha organ buatan,” harap
Badar. Tak kalah pentingnya, program lanjuutan pasca APIK, masuk
organisai sosial Media Amal Islami (MAI) yang menempatkan seorang
relawan member ceramah agama mingguan, sesuatu yang dirindukan warga
komunitas ini. “Selama ini, kami hanya diceramahi ustadz-ustadz
lingkungan sendiri. Kami sangat senang, kalau ada yang mendampingi kami
memberi pembekalan keagamaan maupun sosial-ekonomi di sini,” kata
Badar.
AL
Azhar Peduli Ummat selesai masa tugasnya. Komunita sini, terus menanti
dukungan monumental, entah dari siapa. Dan Badar Bajrey, dalam usia yang
kian senja, berusaha berdiri tegar di kancah pendampingan komunitas
kusta. Padahal, ia merakit gagasan dan melakukan semua kegiatannya,
serba otodidak. Ia bertebal muka, mengemis dukungan dari siapa saja.
“Saya tidak perlu malu, ia dakwah saya. Kalau minta untuk saya sendiri,
saya malu, tapi ini untuk orang lain yang tidka berdaya, mengapa musti
malu? Masalahnya, saya harus mempeorleh mitra dna pendukung yang lebih
strategis, lebih cerdas dari saya yang bodoh ini. Jangan bilang saya
pahlawan! Saya bukan siapa-siapa,” ujarnya merendah. Badar Bajrey tak
butuh gelar pahlawan. Ia akan lebih berbahagia jika di ujung usianya –
semoga saja bisa lebih cepat dari itu – pemerintah Banten memberi
dukungan konkret terhadap Lembaga Kusta Daerah Banten sehingga bisa
memberi makna bagi komunitas kusta.
Badar
Bajrey, kusta dan Provinsi Banten, kombinasi indah yang mungkin tak
bisa terlihat dengan mata telanjang. Panca indera kita, tak cukup untuk
memahami gerak-gerik alam ini. Sekilas tentang Badar Bajrey ini, semoga,
cukup menggetarkan nurani kita untuk jernih merasakan, memikirkan dan
terdorong berbuat. Jangan biarkan Badar Bajrey (dan Badar-Badar lainnya)
dalam penantian tanpa hasil, sampai di ujung usianya.*
Komentar
Posting Komentar