H. Hasan Alaydrus
Islamkan Seribu Warga Badui
PERJUANGAN H. Hasan
Alaydrus meningkatkan status Banten menjadi provinsi pada dekade 60-an,
menghantarkannya sampai ke penjara. Namun, meski telah disekap selama empat
bulan di kamar ‘hotel prodeo’ Kodam III Siliwangi yang pengap, idealisme lelaki
kelahiran 17 Agustus 1944 itu tak luntur. Kokohnya terali besi, justru semakin
membentuk karakter juangnya yang konsisten. Di tengah ancaman Kristenisasi,
Hasan berhasil meng-Islamkan 1.000 warga Badui.
Sejak remaja, lelaki ‘gila’
organisasi ini memang memiliki kebiasaan unik. Ketika teman-teman
sepermainannya sedang keranjingan budaya pop, ia malah memilih profesi sebagai
tukang memandikan, mengkafani, mensalati dan mengubur orang mati. Kebiasaan ini
dijalaninya sejak Hasan masih berusia 13 tahun.
“Jabatan sebagai tukang
memandikan orang mati, saya warisi dari orangtua dan kakek. Terus terang, saya
bangga bisa melakukan pekerjaan yang tidak semua orang mampu melakukannya
tersebut,“ ujar Hasan Alaydrus mengenang masa-masa remajanya yang tak lazim
bagi kaula muda sekarang.
Kebiasaan mengurus orang
mati, tampaknya berpengaruh besar terhadap perjalanan hidup Hasan. Sebab
memang, selain dibutuhkan skill, memandikan dan mengkafani orang mati
memerlukan keberanian yang besar. Oleh karena itu, tak semua orang bisa menjadi
tukang memandikan mayat. Lelaki berambut ikal keturunan ulama besar itu, tak
pernah kenal takut ketika mengungkapkan kebenaran (kul al-haq wa lau kaana
murron).
Dampak positifnya, di
sejumlah organisasi yang dimasukinya, nama Hasan selalu bertengger pada jajaran
pengurus teras. Mantan wartawan PELITA pada 1972-1973 itu, nampaknya
ditakdirkan sebagai pemimpin. Bayangkan, di tengah kesibukannya sebagai Kepala
STM Muhammadadiyah Rangkasbitung, Hasan masih mampu memegang sejumlah kendali
organisasi besar di Banten.
Pelopor
Selain menduduki kursi
Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Banten, lelaki dengan tinggi dan
berat badan 166, pernah memikul jabatan sebagai Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia (ICMI) Banten.
Untuk bisa menjadi orang
pertama pada ke dua organisasi tempat bernaung para intelektual itu, tentu
harus melewati seleksi yang ektra ketat. Oleh karena itu, tak semua aktivis
bisa mencapai kedudukan terhormat di wadah tempat berkumpulnya para ahlu alfikr
(insan tercerahkan) tersebut.
Sejak aktif di
Muhammadiyah, Ketua Gerakan Anti Komunis Ketua Gerakan Anti Komunis (Gerak)
Banten ini berhasil meng-Islamkan 1000 warga Badui. Ia pula yang mempelopori
berdirinya pusat kajian Islam di Badui, lewat pesantren dan dan masjid yang
dibangunnya di tengah perkampunga Badui Luar.
Dalam dunia keulamaan,
bapak enam putera itu juga tak pernah ketinggalan. Ketika pemilihan orang nomor
satu di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banten yang pertama beberapa waktu lalu,
nama Hasan sempat memepet populeritas Prof. KH. Wahab Afif MA, Rektor Institut
Agama Islam Banten (IAIB ). Sejumlah ulama yang hadir dalam pemilihan bursa
calon Ketua MUI, tak sedikit yang menjagokannya.
Namun, dalam sebuah
perebutan suara yang dilakukan secara rahasia, Hasan harus mengakui keunggulan
seniornya itu. Dengan kekalahan tipis dari Wahab, Hasan menerima kedudukan
sebagai Ketua I pada kumpulan para pewaris nabi itu.
Terpanggil
Keterpanggilan alumnus
Akademi Penerangan dalam perjuangan menghantarkan Baten ke pintu gerbang
provinsi, berawal dari pengamatan empirisnya tentang kehidupan dan penghidupan
masyarakat setempat. Meski bersebelahan dengan Ibu Kota RI dan secara geografis
menjadi jembatan penghubung antara Pulau Jawa dan Sumatera, namun pembangunan
di Banten seperti hidup segan mati tak mau. Sementara masyarakatnya memiliki
warisan potensi alam yang melimpah. Kenyataan ini, dianggapnya seperti ayam
kelaparan di lumbung padi.
Maka, meski usianya baru
menginjak 20-an tahun, Hasan muda telah aktif membantuu para seniornya
merumuskan masa depan Banten. Perjuangan mengibarkan bendera provinsi,
dikobarkannya baik lewat pidato di mimbar maupun teriakan dalam demonstrasi.
Keberanian Hasan rupanya
memunculkan ketersinggungan dan kehawatiran aparat pada masa itu. Setelah
peringatan dan ancaman tak mampu membunuh keberanian Hasan, maka aparat
menggelandangnya ke sel yang sempit di Korem 064/MY. Pemuda berwajah ganteng
itu dipaksa mengaku sebagai penghasut masyarakat, karenanya dianggap mengancam
stabilitas nasional. Atas tuduhan tersebut, Hasan muda diganjar kurungan dua
bulan penjara.
Namun karena sumpek dan
apeknya sel Korem 064/MY tak mampu ‘mencuci’ otak Hasan, akhirnya lelaki yang
selalu berpenampilan necis itu diseret ke Kodam Siliwangi. Di tempat yang serem
ini, Hasan kembali dikurung selama dua bulan.
“Tembok penjara semakin
menambah tebal keyakinan saya, bahwa pada suatu saat Banten akan berubah
menjadi daerah provinsi. Dalam penjara yang sepi dan pengap, saya semakin
berkesempatan merenung lebih banyak tentang tujuan perjuangan yang sedang
dijalani,” papar Hasan sambil menerawang.
Sebagai aktivis sejati,
api semangat juang yang selalu menyala di hati dan pikiran Hasan, tak padam
hanya dengan kurungan empat bulan. Terbukti, ketika terbebas dari himpitan
tembok penjara, Hasan kembali bergelut di organisasi dan menantang panas
matahari ketika demonstrasi.
Sebelum menjabat sebagai
Sekjen Bakor Mahasiswa Jabar 1971-1973 dan sempat kuliah dua semester di
Fakultas Publisistik Unpada Bandung, Hasan bergabung dengan para aktivis
berpikiran radikal di Pelajar Islam Indonesia (PII). Di organisasi yang banyak
melahirkan putera bangsa yang idealis ini, Hasan sempat dipercaya menjadi Ketua
Umum PII Jabar ( 1970-1972). Setelah dinilai berhasil menghantarkan PII Jabar
ke era keemasan, Hasan ditarik ke Jakarta, menduduki jabatan Ketua Umum PII
Pusat (1972-1973).
Saat itu, semangat
perjuangan menggolkan bola Banten menuju gawang provinsi semakin memudar. Satu
persatu para pejuang provinsi di daerah santri itu kehabisan tenaga. Penyebabnya
hanya satu, pemerintah Orba terlanjur mencurigai kesucian niat para pejuang
Banten.
Selain dicurigai telah
ditunggangi antek-antek PKI, misi para pejuang provinsi era 60-an juga dianggap
telah dicemari khitoh para grilyawan Darul Islam. Kecurigaan pemerintah yang
tanpa dasar itu, semakin memperpuruk mental para kesepuhan Banten tempo dulu.
Padahal keinginan mereka hanya satu, memperbaiki nasib anak cucu yang akan
menjadi pewaris kejayaan yang pernah eksis di daerahnya.
Ketika pada tahun 90-an
api perjuangan masyarakat Banten menuju provinsi kembali menyala, Hasan
Alaydrus kembali menjadi salah seorang motor penggerak. Dari sejumlah
organisasi yang ada, mantan pemain bola pada era 60-an itu lebih sreg bergabung
dengan kawan-kawannya di Komite Pembentukan Provinsi Banten.
Di sini, mantan Ketua
PSSI Lebak itu kembali bertemu dengan kawan-kawan seperjuangannya tempo dulu.
Salah satu di antaranya H. Uwes Qorny, teman sekamar semasa di sel Kodam
Siliwangi. Uwes menjadi Ketua Umum Komite Pembentukan Provinsi Banten, sedang
Hasan menjadi wakilnya.
Lelaki yang mengaku
sedang belajar beternak ayam dan ikan, dipercaya masyarakat menjadi Ketua
Panitia Pengisian Keanggotaan (PPK) DPRD Banten pada masa awal kelahiran daerah
eks kesultanan. Sebagai ‘bidan’ yang dipercaya menjaga kelahiran bayi mungil
bernama DPRD Banten, Hasan mengaku sering diserang rasa prihatin.
“Keprihatinan saya
menyangkut semakin banyaknya pahlawan-pahlawan oportunis di daerah ini. Ketika
masa perjuangan, mereka menolak keras keinginan masyarakat meningkatkan status
Banten menjadi daerah provinsi. Tapi ketika impian itu menjadi kenyataan,
mereka ramai-ramai mengaku sebagai pahlawan,” ujarnya sambil tersenyum tipis.**
Komentar
Posting Komentar