H. Embay Mulya Syarief
Pelopor Gerakan BMT
PRIA ini
memiliki banyak keunikan. Dalam tubuhnya mengalir darah ulama, jawara,
ekonom, cendikiwan, dan bankir. Sebagai organisator, tokoh kelahiran 4
Maret 1952 ini menjadi pengendali sejumlah organisasi kemasyarakatan
dan profesi tingkat lokal dan nasional.
Ia
misalnya, pernah dipercaya sebagai Sekjen Majelis Musyawarah Masyarakat
Banten (M3B), Ketua GP Farmasi Provinsi Banten, Ketua Kadin Kabupaten
Serang, Komandan Gerakan Anti Komunisme, Ketua Panitia Persiapan
Penerapan Syariat Islam Indonesia-Banten (P3SIB), Ketua Dewan Pendidikan
Kab. Serang, dan Ketua MUI Provinsi Banten yang membidangi pengembangan
ekonomi Islam.
H. Embay Mulya Syarief,
nama pengusaha sukses yang suka berpenampilan sederhana tersebut.
Sebagai ekonom, Direktur Utama PT Buana Centra Swakarsa (BCS) Cilegon
ini berperan aktif membangun ekonomi kerakyatan di daerahnya. Hal itu,
antara lain, pernah diwujudkannya dalam bentuk “program gerakan
pendirian seribu Baitul Maal wa Tanwil (BMT)” di Banten. Gerakan berbau
ekonomi kerakyatan dan keislaman itu tidak lepas dari peran dirinya
sebagai Komisaris Utama BPRS Berkah Ramadan di Tangerang dan Komisaris
Utama BPRS Baitul Muwanah di Cilegon.
Di
tengah kesibukanya, anak pasangan H. Syarif Hidayat dan Hj. Hindun ini
sering tampil sebagai penceramah di pengajian-pengajian. Sesuai dengan
panggilan jiwanya, materi pengajian yang ia sampaikan umumnya
bertemakan ekonomi Islam. Maklum, dalam diri suami Hj. Munawaroh ini
tertanam ambisi dan keyakinan bahwa hanya sistem ekonomi Islam yang
bakal mampu menanggulangi krisis ekonomi yang melanda dunia saat ini.
“Saya
sangat yakin, Syariat Islam akan menjadi solusi paling jitu dalam
menanggulangi berbagai krisis di dunia,” kata bapak lima anak (Yusuf
Munawar, Aryadila, Meirina, Teguh, Ruli).
Tentang
pembangunan di Provinsi Banten hingga usia menginjak delapan tahun,
tokoh hobi olah raga silat dan joging ini termasuk yang mengaku miris.
Sebagai pelaku sekaligus saksi sejarah peralihan status Banten dari
karesidenan menjadi provinsi, ia memiliki penilaian menarik tentang
pembagian kue pembangunan di provinsi ke-30.
Dengan
hati berat meminta masyarakat agar tidak berharap terlalu banyak dari
pemerintah daerah. Selain karena usia Provinsi Banten masih relatif
muda, arah program pembangunan di provinsi ini juga dinilainya belum
maksimal berpihak kepada rakyat kecil.
“Selain
itu, seharusnya dalam mengarungi suatu cita-cita, kita memulainya
dengan baik. Pepatah mengatakan, permulaan yang baik merupakan separo
pekerjaan. Terus terang saja, saya melihat permulaan pembangunan di
Provinsi Banten ini kurang baik. Lihat saja sekarang, pada usianya yang
masih muda, provinsi ini banyak dijejali berbagai kasus. Jadi, apa
bedanya antara Banten ketika masih bergabung dengan Jabar dan setelah
menjadi provinsi?” sindir Wakil Ketua ICMI Provinsi Banten.
Menurut
Ketua Persatuan Umat Islam (PUI) Banten, satu-satunya kebahagiaan dan
kebanggaan masyarakat Banten, yakni daerahnya menjadi provinsi.
Jauh-jauh hari ia mengaku sudah menyarankan kepada sejumlah petinggi
Banten agar dalam membangun tidak seperti mendirkan rumah sakit.
“Rumah sakit kan
gedungnya indah, mewah dan bersih. Tapi coba lihat, penghuni rumah
sakit adalah orang sakit. Sebaiknya, membangun Banten ini harus seperti
mendirikan hotel. Selain indah dan mewah, penghuninya juga orang sehat
dan berduit. Jadi, yang membedakan antara hotel dengan rumah sakit
adalah kondisi penghuninya,” ungkap pembina FKA ESQ Banten.
Namun menurut Ketua Ketua Yayasan Insan Madani, pemprov nampaknya
lebih memilih membangun rumah sakit, bukan hotel. Penghuni provinsi
ini banyak yang sakit, bahkan tak sedikit yang sakit jiwa.
Masyarakatnya banyak yang gila harta, gila jabatan, gila pangkat, gila
hormat, gila pujian, dan sebagainya. Masyarakat yang sakit, menurutnya
bisa dilihat dari perilaku sehari-harinya. Antara lain, semakin sulitnya
ditemukan makna kasih sayang kepada yang lemah, tidak punya rasa malu,
anarkis, dan egois. Bahkan, tak sedikit masyarakat Banten yang merasa
benar di jalan yang salah.
Mereka
dinilainya kurang peka terhadap kesulitan masyarakat lemah. Ketika
rakyat banyak yang masih kesulitan bisa makan teratur setiap hari, para
elite malah banyak yang hidup bergelimpang kemewahan.
“Ini
tandanya para elite itu banyak yang sakit. Jasmaninya sih sehat, tapi
rohaninya butuh siraman tentang pentingnya kepedulian terhadap sesama,”
tegas Ketua Paguyuban Warga Banten (Puwntwn) Kab. Serang.
Anggota
Dewan Penasihat FKPPI Banten ini mengingatkan agar pemprov membuat
program yang benar-benar menyentuh langsung atau bermanfaat untuk
rakyat. Bentuknya, jalan-jalan diperbaiki, sehingga roda ekonomi satu
desa ke desa lainnya bisa lebih lancar. Sementara bidang pendidikan dan
kesehatan, kalau tidak bisa gratis ya dimurahkan.
Kalau
mau membangun hotel, saran mantan Ketua Pemuda Panca Marga LVRI Serang,
tiga komponen ini wajib dipenuhi. Jika mengabaikan pembangunan jalan,
kesehatan dan pendidikan maka sama saja membangun rumah sakit.
“Diakui atau tidak, pembangunan di Banten ini belum maksimal menyentuh sektor-sektor tersebut. Padahal, membangun fisik kan
jauh lebih mudah dari membangun sikap mental. Lagu Indonesia Raya
mengajarkan kepada kita agar mendahulukan pembangunan dari membangun
fisik,” kata Komisaris PT Wallie Jasa Pratama.
Dikemukakan, untuk membangun mental dibutuhkan
waktu lama. Hal ini harus ditopang dengan sektor kesehatan dan
pendidikan yang layak. Tanpa didorong dengan dua sektor ini, pembangunan
mental akan memakan waktu lebih lama dan menemui kendala lebih banyak
lagi.
Dalam
konteks ini, mantan Dirut PT Berkah Saputra Jaya Raya itu mengaku heran
dengan klaim pemprov bahwa angka kemiskinan di Banten menurun dari
tahun ke tahun. Untuk melihat fakta, ia meminta para pejabat di Banten
sering melihat langsung kondisi masyarakatnya, dialog dengan mereka,
bertanya tentang kesulitan dan keinginan-keinginan mereka.
Padahal,
kata mantan Staf Daksi Set. Laksus Bidlu (1984-1994), Rosulullah SAW
pernah mengingatkan bahwa “Allah menolong dan memberi rizki kepada
kalian karena orang miskin di antara kalian”. Faktanya, lanjut jebolan
AIA Maulana Yusuf Banten, orang miskin memiliki kontribusi cukup besar
dalam kehidupan dan penghidupan orang kaya. Mereka bukan saja berjasa
meyehatkan orang kaya, namun juga ikut membuka jalan bagi orang kaya
yang ingin lebih kaya.
“Coba
perhatikan, siapa yang menanam sayuran, menanam pepohonan yang
menghasilan buah-buahan. Siapa pula yang menjadi petani dan nelayan.
Mereka berjasa membuat kita tetap sehat. Tanpa mereka, kita akan
kekurangan gizi dan vitamin,” kata Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam
Banten.
Perhatikan
juga, kata Embay, siapa yang menumpang kereta api, bus, angkot, kapal
laut dan sebagainya? Tanpa mereka, perusahaan transportasi akan
bangkrut. Siapa pula yang bekerja di pabrik? Tanpa mereka, industri akan
tutup. Siapa yang menggerakkan sektor riel? Merekalah orang-orang
miskin yang mau berusaha tanpa ditunjang oleh fasilitas. Padahal, dalam
menjemput rezeki Allah itu mereka harus sering kucing-kucingan dengan
aparat. Bahkan, tak jarang penghasilan mereka yang sangat minim itu
harus dibagi dengan oknum tertentu dan preman.
“Setelah
tahu kontribusi orang miskin, pantaskah kita menempatkan mereka sebagai
penduduk kelas dua?” sindir mantan Bendahara ICMI Kab. Serang.
Tentang
pengentasan kemiskinan, mantan Direksi PT Sinar Ciomas menawarkan
solusi. Yakni, pemerintah daerah harus melakukan gerakan wirausaha.
Bentuknya, pemerintah daerah memberi pelatihan-pelatihan kepada para
pengusaha kecil, pedagang kaki lima, dan para calon pengusaha. Materi
yang diberikan antara lain menyangkut sikap mental, manajemen permodalan
dan permasalahannya. Gerakan ini diyakininya akan efektif untuk
menanggulangi kemiskinan dan pengangguran. Sebab setelah lulus dari
pendidikan, mereka akan membuka usaha baru.
Ia
mengilustrasikan, jika 20 persen penduduk Banten memiliki kemampuan
berusaha maka angka kesejahteraan di Banten akan meningkat signifikan.
Rasionya, 20 % X 9 juta (jumlah penduduk Banten) = 1,8 juta. Jika setiap
pengusaha Banten (1,8 juta orang) mengangkat 5 orang tenaga kerja, maka
putra daerah yang terserap dalam dunia kerja mencapai 900.000 orang.
“Bayangkan
kalau setiap kader pengusaha bisa merekrut lebih dari lima karyawan,
berapa tenaga muda Banten yang bakal terserap dalam usaha baru tersebut.
Fungsi utama pengusaha kan ada dua, yaitu sebagai penyerap tenaga kerja
dan pembayar pajak serta retribusi. Kalau bagi yang muslim perannya ada
lagi, yaitu sebagai pembayar zakat, infak dan sedekah,” kata mantan
Wakil Ketua ICMI Kab. Serang.
Berkat
jasa-jasanya yang tak pernah lelah memperjuangkan kemandirian umat,
pembina Ponpes Ulul Albab Ciomas tersebut sering menerima anugerah
penghargaan. Warga Pekarungan Serang itu, misalnya, pernah menerima
penghargaan Upakarti Bidang Pengabdian Pembinaan Usaha Kecil, Satya
Lencana LVRI, dan Bintang Legiun Veteran RI.***
Komentar
Posting Komentar