Edi Zubaedi

Membangun Dunia Seni


GELIAT seni rupa di Banten semakin bergairah. Hal itu, antara lain, terlihat dari semakin menjamurnya organisasi tempat bernaung para seniman di provinsi yang baru seumur jagung ini. Aktivitas yang dipelopori kaum seniman pun semakin intens. Mereka tak lagi hanya kongkow-kongkow di tengah komunitas sendiri, tapi juga berbaur dengan lingkungan sekolah. Tempat pameran seni rupa pun tak lagi identik dengan gedung megah, sebab sekolah juga sering menjadi tuan rumah hajat para seniman tersebut.
Bicara tentang seni rupa, tak bisa lepas dari figur sentral organisasi tersebut. Edi Zubaedi, demikian seniman senior kelahiran Serang 9 Maret 1943 itu. Kiprah dan konsistensi suami Ratu Rohayah ini dalam membangun dunia seni di Banten, tak  bisa diragukan.
Lewat Sanggar Badak yang didirikannya pada 17 Agustus 1970, bapak lima anak ini ikut membesarkan sejumlah pelukis muda Banten. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang ini juga sering membawa nama besar Banten di pentas dunia, yakni dengan menggelar pameran lukisan di sejumlah negara. Tema lukisannya beragam, mulai dari
cerita masa lalu Banten sampai kritik sosial masyarakat kontemporer. Lukisan terbarunya, antara lain, Kasmaran 80x60 cm, Senja 170x80 cm, Salah Gaul 170x80cm, Terjalnya Bebatuan 170x80cm, dan Dua Perahu 80x60cm.   
Pelukis beraliran realis-naturalis yang juga Ketua HIMPI Banten dan Ketua HIMPI Serang ini menekuni dunia lukis sejak masih remaja. Ketika duduk di bangku SMA 1 Serang, misalnya, ia sudah dijuluki jago menggambar. Bahkan, ketika itu ia sudah sering ditunjuk sebagai asisten guru menggambar di sekolah tersebut.  Belakangan ia tahu, beberapa guru di sekolahnya mengoleksi karya lukis Zubaedi ketika masih SMA.
Bagi Zubaedi, dunia seni lukis sudah mendarah daging. Meski latar belakang pendidikan tingginya bergelut di bidang hukum, namun hobi melukis tak bisa ditinggal seharipun. Padahal, siang malam ia sibuk membaca buku-buku hukum.
“Kuliah di Fakultas Hukum, tapi saya juga sering melahap buku-buku seni rupa,” ungkapnya.
Diakui, kebiasaan menggali informasi soal seni rupa tidak muncul tiba-tiba. Waktu masih SMA saja, ia sudah mencari buku-buku seni sampai ke Amerika. Dengan modal kemampuan Bahasa Inggris yang lumayan, ia koresponden dengan pihak-pihak tertentu di Amerika. Informasi awal, tentu saja diperolehnya dari  Kedutaan Besar Amerika di Indonesia.
Bagi Zubaedi, seni merupakan sarana dakwah. Apapun budidaya dan karsa manusia, ujungnya adalah pencapaian keindahan. Dengan seni, hidup jadi lebih indah. Keindahan dimaksud, yakni yang sudah lepas dari ukuran-ukuran, angka-angka, waktu, ruang, dan dimensi apapun. Kalau sudah demikian, lanjutnya, yang bicara adalah nurani paling dalam dan universal.
“Itu sebabnya, Sanggar Badak mengambil seni rupa sebagai wilayah garapan dan media dakwah,” ungkapnya.
Kelahiran sanggar yang dipimpinnya itu, berawal dari  beberapa kali pertemuan anak muda jago gambar di Jl. Veteran. Selain dirinya, anak-nak muda tersebut antara lain Uci Sanusi, Buchory, dan Eddy Amanahfiah. Keahlian mereka beragam, ada yang menggambar, membuat patung, dan lain-lain. Dalam setiap kali pertemuan, anak-anak muda berbakat itu membicarakan soal pekembangan dan pembinaan seniman di Banten. Akhirnya, mereka sepakat perlunya mendirikan sanggar. Maka, lahirlah Sanggar Badak, diresmikan pada 17 Agustus 1970 di Pendopo Kabupaten Serang oleh Bupati Serang H. Saparuddin. Kelahiran Sanggar Badak dipandang sebagai “era babad alas” dunia seni rupa di Serang.
Kaderisasi   
Ketika Banten masih bergabung dengan Jawa Barat, sanggar ini rutin mendapat dana pembinaan dari pemerintah daerah. Bahkan, beberapa kali pejabat daerah juga melongok. Uang pembinaan itu, salah satunya dimanfaatkan untuk studi banding para seniman ke sejumlah daerah.
Tahun 1974 sampai 1980, misalnya, para seniman Serang studi banding ke pusat-pusat seni rupa seperti Bali, Yogyakarat, Banudng, Jakarta dan sebagainya. Mereka juga aktif mengikuti pameran seni rupa hingga ke laur daerah. Misalnya, di Sukabumi, Bogor, dan Bandung. Lewat pameran itu, beberapa karya seniman Banten banyak diboyong ke luar negeri.
“Saya sendiri pernah ditugaskan oleh Museum Bahari Jakarta untuk melukis pelabuhan-pelabuhan tua se-Pulau Jawa,” kata Zubaedi.
Namun sejak Banten pisah dari Jawa Barat, pemerintah daerah tak lagi memberi perhatian. Kenyataan ini sangat ironis. Sebab  Sanggar Badak bukan saja yang tertua di Banten, tapi juga satu-satunya sanggar yang masih bertahan hingga saat ini. Gawe para seniman yang di Sanggar Badak bukan hanya menyediakan bahan baku, tapi juga sampai memasarkannya. “Karena tak ada pembinaan dari pemeintah daerah, banyak sanggar yang kolap di tengah jalan,” katanya.

Setelah malang melintang dalam dunia seni, ia mengaku bersyukur sebab saat ini masyarakat mulai sadar bahwa seni juga bisa memberi kehidupan. Padahal dulu, seni masih dipandang sebagai dunia orang-orang pemimpi.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Qori Nasional Pertama dari Banten

Ponpes Alquraniyyah Kesultanan Banten

KH. Ahmad Maimun Alie, Lc, MA