Dr. Fatah Sulaiman

Jihad Mengangkat Wibawa Pesantren

NAMA Fatah Sulaiman memang belum bisa disejajarkan dengan para ulama senior yang ada di Banten. Sebab pria kelahiran Serang, 6 Oktober 1968 ini lebih banyak menghabiskan masa mudanya dengan belajar di lembaga pendidikan umum. Namun dalam dada lelaki ini tertanam tekad untuk membangkitkan dunia pesantren di daerah eks karesidenan ini.
Setamat SMUN 1 Serang misalnya, ia melanjutkan ke Fakultas Teknik Kimia Universitas Indonesia (1994). Bidang tersebut, ia dalami di Pascasarjana (S-2), juga  pada Universitas Indonesia (2002). Ilmu-ilmu Islam secara formal digelutinya di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Islam dan Madrasah Tsanawiyah Nurul Islam.
Kecintaan suami Dra. Omah Rohmawati ini pada dunia teknik kimia, menghantarkannya menjadi Ketua Jurusan Teknik Kimia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang sejak 1999.  Kedudukan menggiurkan tersebut, tidak lantas menjadikannya lupa terhadap almamater. Sambil terus menggeluti teori-teori teknik kimia di perguruan tinggi, bapak dua anak (Rizkina Lestari Utami Puteri & Dwinanda Tsania Lailaturrahmah) ini dipercaya menjadi Ketua Umum Yayasan Nurul Islam Serang. Selain bidang pendidikan, yayasan tersebut bergerak di bidang pesantren dan sosial.
Sejak itulah, pria yang hobi membaca dan tenis meja ini melihat dengan jelas peta perkembangan dan pengembangan pesantren. Meski terbukti telah memberi andil besar terhadap pembangunan sumber daya manusia, namun pesantren kurang mendapat perhatian pemerintah. Akibatnya, selain banyak yang kalah bersaing dengan pendidikan yang dikelola agama lain, perkembangan pesantren di provinsi ini kurang menggembirakan.  Pada saat yang sama, ia melihat para pemimpin pesantren berjalan sendiri-sendiri. Padahal, menurutnya, kebangkitan pesantren hanya bisa diraih dengan kebersamaan.
Kenyataan tersebut membangkitkan semangat jihad dalam dirinya. Gayung bersambut. Sejumlah pengasuh pesantren shalafiyah dan modern, mengajaknya mendirikan Forum Silaturrahim Pondok Pesantren (FSPP). Dalam Musda I yang digelar November lalu, Fatah Sulaiman terpilih sebagai Ketua Harian FSPP.
“Meski sekarang dikenal sebagai dosen teknik kimia, tapi sebelumnya saya pernah belajar di pesantren. Keberadaan saya di bidang ini, mudah-mudahan bisa memperkuat pengakuan bahwa alumnus pesantren juga bersaing masuk perguruan tinggi favorit serta sanggup merebut dan menciptakan lapangan kerja baru,” katanya.
Salah satu misi pejuangannya saat ini adalah, melobi agar pemerintah mengakui kurilukum pesantren secara wajar. Kalau melihat kualitas, ujarnya, lembaga pendidikan pesantren banyak yang sudah go international. Pesantren juga sudah banyak melahirkan elite nasional, seperti Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan Hidayat Nur Wahid. Oleh sebab itu, lanjutnya, sekarang ini tidak perlu lagi ada persamaan ijazah untuk santri.
Terkait dengan ini, forum pesantren yang dipimpinnya akan berupaya memberi pengertian kepada pemerintah pusat. FSPP akan berjuang meyakinkan pemerintah bahwa kurikulum pesantren telah memiliki standar yang sama.
“Jadi, sebenarnya tinggal good will pemerintah saja,” ungkapnya.
Menurut Fatah, peran pesantren sebagai benteng akhlak tidak bisa dianggap sepele. Sekilas, kata dia, peran ini tampaknya biasa-biasa saja. Tapi sebenarnya, membangun masyarakat ber-akhlak alkarimah itu jauh lebih sulit dari membangun masyarakat industri dan lainnya. Masyarakat berakhlak, bisa menjadikan negeri ini aman tentram tata raharja.
Selain itu, kata dia, peran sosial pesantren juga tidak sedikit. Misalnya, menampung anak yatim dan anak dari keluarga kurang mampu. Belakangan, ada beberapa pesantren yang ikut meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat lewat pengembangan agrobisnis dan peternakan.
“Itu semua hanya sebagian kecil peran pesantren,” teganya.
Ia yakin, dunia pesantren di Banten akan mengalami kemajuan pesat. Salah satu buktinya, isu terorisme yang dihembuskan pihak lain yang tidak senang pada pesantren, ternyata tidak berpengaruh apa-apa. Kepercayaan masyarakat terhadap pesantren masih tinggi. Pasalnya, masyarakat muslim yang awam saja tidak percaya kalau pesantren terlibat aksi terorisme. Isu-isu negatif tersebut berlalu bersama angin yang lewat.
Ia ingin, kewibawaan pesantren mulai terangkat. Caranya, mutu pendidikan pesantren tidak boleh kalah dengan lembaga pendidikan yang dikelola pemeluk agama lain. Sekarang ini, lembaga pendidikan yang bagus-bagus tingkat nasional dikelola pihak non-muslim. Sebagai pemeluk agama mayoritas, kenyataan ini sangat menyakitkan.
Obsesi lainnya, alumnus pesantren harus memiliki daya tawar tinggi dalam berbagai lapangan kehidupan di era globalisasi ini. Semua itu diyakininya bisa terwujud, bila pesantren sendiri menghilangkan sekat-sekat dikotomi antara pesantren modern dan shalafiyah. Selama dikotomi itu masih ada, lanjutnya, pesantren kita sulit berkembang.

“Alhamdulillah, dalam Musda I FSPP lalu, seluruh pemimpin pesantren di Banten bertekad menghapus dikotomi tersebut. Penghapusan dikotomi itu sangat diperlukan, sehingga ukhuah islamiyah akan terjalin lebih erat,” katanya.*** 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Qori Nasional Pertama dari Banten

Ponpes Alquraniyyah Kesultanan Banten

KH. Ahmad Maimun Alie, Lc, MA